Evaluasi Kinerja Pembangunan Peternakan di Provinsi Papua

EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN PETERNAKAN PROVINSI PAPUA

(EVALUATION OF HUSBANDRY MANAJEMEN DEVELOPMENT IN PAPUA PROVINCE)

Lukas Y. Sonbait

Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari

Pendahuluan

Provinsi Papua yang luasnya mencapai 317.062 km², memiliki luas perairan 228.000 km. Wilayah ini juga memiliki potensi lestari kayu komersial 540 juta m³, menghasilkan 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Terdapat deposit 2,5 miliar bahan tambang emas dan batubara, hanya di kawasan konsesi PT Freeport. Memiliki kawasan hutan 42.224.840 ha, terdiri dari hutan lindung 10.619.090 ha, kawasan konservasi 9.704.300 ha, hutan produksi 10.585.210 ha, hutan produksi terbatas 2.051.110 ha, dan hutan konversi 9.262.130 ha. Luas hutan konversi ini dapat digarap menjadi lahan perkebunan, tanaman pangan, holtikultura, dan peternakan produktif. Luasan hutan konversi ini baru 2,36% yang dimanfaatkan, selebihnya masih berupa potensi yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi rakyat Papua kecuali diolah.

Meski kaya dengan sumberdaya alam, fakta menunjukkan dari jumlah rumah tangga yang mencapai 480.578, lebih dari 80 persen adalah rumah tangga miskin. Kelompok ini bermukim di kampung-kampung, pesisir pantai, pulau-pulau kecil, pegunungan dan pedalaman. Dapat dipastikan sebagian besar diantaranya menggantungkan hidup di sektor pertanian dalam arti luas yaitu tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan termasuk peternakan yang sudah lebih dari 4 dekade melakukan introduksi dan redistribusi berbagai jenis ternak, namun penampilan produksi belum menunjukkan trend yang mampu mendukung program swasembada, malahan sebaliknya kasus degenerasi pada beberapa jenis ternak makin dominan.

Oleh sebab itu, kinerja pembangunan peternakan perlu dievaluasi, meski disadari beberapa fungsi manajemen, aspek evaluasi dinilai sulit dilakukan karena beberapa alasan: bervariasinya program dan kegiatan yang dijalankan di provinsi maupun kabupaten/kota yang menjalankan fungsi peternakan, dan bervariasinya tolok ukur yang menjadi pedoman evaluasi. Meski demikian, evaluasi kinerja pembangunan peternakan menjadi sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat bagi kepentingan perencanaan pembangunan peternakan berikutnya.

Beberapa tujuan yang dicapai dari hasil penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kinerja pembangunan peternakan yang mencakup 5 tujuan pembangunan peternakan yaitu kualitas dan kuantitas bibit ternak, budidaya, kesehatan hewan, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH, dan pelayanan prima masyarakat peternakan;

2. Mengetahui kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan yang meliputi program percepatan swasembada daging sapi (P2SDS), restrukturisasi perunggasan (RP), restrukturisasi industri persusuan (RPS), dan penanggulangan avian influenza (AI);

3. Mendapatkan umpan balik dari daerah terkait program pembangunan peternakan berdasarkan kebijakan pusat.

Metoda

Kegiatan evaluasi kinerja ini dilaksanakan pada dinas yang menjalankan fungsi peternakan baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota yang dipilih, yaitu Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Biak Numfor, dan Kotamadya Jayapura. Data yang dihimpun adalah data sekunder dan wawancara dengan penanggung jawab kegiatan dan responden kunci. Analisis dilakukan secara tabulasi.

Hasil dan Pembahasan

1. Evaluasi kinerja tujuan pembangunan peternakan

Kinerja Tujuan Pembangunan Peternakan

Nilai Tujuan

Kesimpulan Tujuan

I. Peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak

46,01

Cukup

II. Pengembangan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak

64,28

Baik

III. Peningkatan dan mempertahankan status kesehatan hewan

54,24

Cukup

IV. Peningkatan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH

22,55

Kurang

V. Peningkatan pelayanan prima pada masyarakat peternakan

40,19

Cukup

Upaya perbaikan mutu genetik (regenerasi) ternak melalui program perbibitan (breeding centre) dan breeding farm belum menjadi fokus utama. Sebaliknya, budidaya ternak dengan introduksi dan redistribusi bibit tanpa sistem dan prosedur seleksi yang ketat masih menjadi fenomena klasik. Status kesehatan hewan mengalami peningkatan aktivitas sehubungan dengan berkembangnya isu beberapa penyakit hewan menular (zoonosis). Jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH belum menjadi prioritas utama, sedangkan pelayanan prima masyarakat peternakan belum optimal sebagai konsekuensi terbatasnya jumlah dan mutu pelayanan karena sumberdaya manusia peternakan yang terbatas.

2. Evaluasi kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan

Kinerja Kegiatan Utama Pembangunan Peternakan

Nilai

Kesimpulan

Percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS)

62,76

Potensial Tercapai

Restrukturisasi perunggasan (RP)

50,42

Cukup

Restrukturisasi industri persusuan (RPS)

53,48

Cukup

Penanggulangan avian influenza (AI)

51,85

Cukup

P2SDS berpotensi untuk dicapai karena besarnya daya dukung pakan yang bersumber dari hijauan dan limbah pertanian/perkebunan, namun belum diikuti program penggemukan (fattening). RP mulai dibenahi melalui restrukturisasi perunggasan dengan penataan pemeliharaan unggas di pemukiman. RPS belum berkontribusi pada suplai susu segar, namun pengembangan ternak perah dan pengadaan konsentrat lokal sebagai pakan tambahan merupakan daya dukung yang potensial. Upaya pemutusan mata rantai berjangkitnya penyakit avian influenza (AI) terus menjadi prioritas dalam mengembangkan ternak unggas.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat

No

Aspek

Nilai

Kesimpulan

Faktor Penyebab (Rangking)***

Koordinasi

Peraturan

Kewenangan

Konsistensi

A

Kebijakan

5.97

Puas

2.13

2.38

2.45

2.93

B

Program dan kegiatan

6.27

Puas

2.10

2.15

2.05

2.80

C

Target dan sasaran

6.37

Puas

2.43

2.33

2.07

2.63

D

Kewenangan

4.90

Tidak Puas

.17

2.30

2.57

2.77

E

Pendanaan

5.17

Puas

2.03

1.77

1.93

2.53

F

Kelembagaan

5.75

Puas

1.90

2.15

1.70

2.35

Persepsi daerah bersumber dari pejabat dan petugas yang menjalankan fungsi peternakan di provinsi dan kabupaten/kota, pihak perguruan tinggi dan praktisi peternakan. Informasi ini memberikan penilaian terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasikan ke daerah. Terdapat jawaban yang bervariasi yaitu ada yang puas dan tidak puas. Dari keenam variabel yaitu kebijakan, program dan kegiatan, target dan sasaran, kewenangan, pendanaan, dan kelembagaan, ternyata variabel kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Kesimpulan

1. Kinerja pembangunan peternakan memiliki 5 tujuan, peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak dinilai cukup, usaha budidaya dinilai baik, status kesehatan hewan dinilai cukup, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH dinilai kurang, dan peningkatan pelayanan prima masyarakat peternakan juga cukup.

2. Kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan melalui program P2SDS berpotensi untuk dicapai, RP cukup, RPS cukup, dan AI juga cukup.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasi ke daerah dari aspek kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Jumat, 18 Maret 2011

Raising System Of Government Aid Of Bali Cattle (Bos sondaicus) In Prafi District Of Manokwari


SISTEM PEMELIHARAAN SAPI BALI (Bos sondaicus) BANTUAN PEMERINTAH DI DISTRIK PRAFI KABUPATEN MANOKWARI

Raising System Of Government Aid Of Bali Cattle (Bos sondaicus)
In Prafi District Of Manokwari


Lukas Y. Sonbait
Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua, Manokwari, Papua Barat 98314 , email : lukas.sonbait@yahoo.com; lukas.sonbait@gmail.com


ABSTRACT

 The increasing of beef cattle production is one of several efforts that is important in fulfilling the requirements of animal protein particularly meat production.The implementation of breeding management system has a strong relationship with technology accomplishment.  An aid system of “gaduhan” is considered as relevant approach for the technology achievement through local people empowerment in animal husbandry sub-sector.  Research was conducted in Prafi District by using descriptive methods with case study.  Case that was acknowledged in this study is the farmer group who involved in the aid program.  Primary and secondary data were collected and analyzed by descriptive statistic approach.  The results indicated that farmer respondents have given good attention to the feeding management, however not in the production aspect.  Generally, farmer respondents were not serious providing housing and had poor knowledge in veterinary practice, always dependent on livestock field staff.  All respondents have utilized the meat in order to supply animal protein requirements of the households.
Key words: Bali cattle, government aid, raising system




PENDAHULUAN

Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari sektor pertanian. Usaha ternak sapi merupakan salah satu cabang usahatani yang mempunyai prospek cerah untuk di kembangkan di Manokwari. Kenyataan menunjukkan bahwa tingkat konsumsi protein hewani daging mengalami peningkatan 3,58 kg/kapita/thn pada tahun 2005 menjadi  3,98 kg/kapita/thn pada tahun 2006 (Anonimous, 2006). Upaya yang terus dilakukan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan protein  hewani adalah melalui usaha pengembangan ternak untuk meningkatkan produksi dan populasinya. Dalam mencapai target yang diinginkan maka sistem manajemen pemeliharaan harus didukung oleh adanya penerapan teknologi. Teknologi yang dimaksudkan adalah pembibitan, pengelolahan pakan dan usaha dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan sumber daya yang tersedia (Kartadisastra, 1997). Sistem gaduhan merupakan bagian dari penerapan teknologi dalam pengelolaan usaha. Dinas Peternakan Manokwari telah melaksanakan program pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pemberian bantuan sapi kepada beberapa kepala keluarga dalam bentuk sapi gaduhan. Dalam sistem ini dilakukan secara bergulir di mana sapi anakan hasil pengembangan akan dikembalikan ke pemerintah selanjutnya digulirkan lagi kepada peternak yang belum mendapatkan sapi gaduhan. Sistem gaduhan yang dilakukan di Kabupaten Manokwari, khususnya Distrik Prafi merupakan bantuan yang diberikan pada peternak dengan memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Usaha pengembangan sapi potong di Manokwari belum optimal. Hal ini dlihat dari perkembangan populasi sapi pada tahun 2006 berkisar 15,446 ekor dengan jumlah produksi daging mencapai 130.790 kg/thn dan tingkat pemotongan ternak perhari 7 – 8 ekor (Anonimous, 2006), sehingga daerah ini memiliki potensi strategis dalam pengembangan ternak potong. Sistem gaduhan telah banyak diterapkan baik perorangan, swasta maupun pemerintah dengan azas saling menguntungkan. Program sapi gaduhan yang selama ini dilakukan pemerintah mampu meningkatkan kesejahteraan petani peternak. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti tingkat keberhasilan sistem gaduhan yang dilakukan pemerintah.
 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan peternak dalam menjalankan sistem gaduhan sapi bali dan sekaligus sebagai masukan bagi pengambil keputusan serta peternak dalam pengembangan usaha sapi potong.

MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Distrik Prafi kabupaten Manokwari, selama kurun waktu satu bulan (April – Mei 2008). Pengambilan sampel dilakukan secara sengaja (purposive sampling) terhadap 9 kampung/kelompok yang mendapat sapi bantuan pemerintah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan teknik studi kasus dimana kelompok petani peternak yang terkena program sapi gaduhan dijadikan sebagai kasus.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dari hasil wawancara, pengamatan langsung dilapangan serta catatan-catatan dari petugas lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga terkait yang berhubungan dengan penelitian ini. Variabel yang diamati meliputi aspek reproduksi, kesehatan ternak, pemberian pakan, perkandangan dan penanganan hasil produksi. Data yang diperoleh selanjutnya  dianalisis secara deskriptif guna memperoleh informasi dari variabel yang diamati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

   Aspek Reproduksi
               Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan,  pada umumnya, hampir 85% peternak telah mengetahui tanda-tanda birahi pada sapi bali, seperti napsu makan berkurang, gelisah, vulva membengkak dan berlendir. Hasil wawancara menunjukkan bahwa semua kelompok peternak tidak bisa melakukan deteksi kebuntingan, biasanya hanya dilakukan oleh petugas penyuluh lapangan peternakan.
Peternak Sapi Bali
     Menurut Murtidjo (1990), deteksi  kebuntingan  setelah perkawinan sangat penting dilakukan agar ada penanganan khusus bagi induk bunting sehingga pertumbuhan embrio dalam janin dapat tumbuh dengan normal. Pada umumnya peternak telah melakukan penyapihan sapi lebih dari umur 3 bulan, karena rata-rata kelompok petani peternak melakukan sistem pemeliharaan secara ekstentif. Induk sapi dan anaknya selalu mencari makan bersama sehingga secara tidak langsung masa sapihpun akan berlangsung lama. Namun peternak akan melepaskan anak sapi ketika induknya bunting, hal ini menyebabkan perkembangan populasi ternak sapi akan lambat. Pada umumnya peternak tidak melakukan penanganan secara intensif induk bunting hingga kelahiran. Penyebabnya adalah ternak diumbar dan mencari makannya sendiri.
Kenyataan ini berlainan dengan pendapat Gunawan dkk (1998), menyatakan bahwa penyusunan makanan untuk sapi yang sedang bunting sangat dianjurkan dengan tersedianya protein yang berkualitas. Jumlah pedet sapi perkelahiran adalah 1 ekor  atau rata-rata angka lahiran sapi bali berkisar 70 – 90 % tahun (Bamualim, 1991). Rata-rata jarak perkelahiran adalah 1 tahun. Jarak ini biasanya dipengaruhi oleh peternak dalam mengawinkan induk. Dengan demikian rata-rata setiap tahun, sapi  sebesar dapat beranak 1 ekor. Peternak pada umumnya sudah mengetahui umur kebuntingan.  

Aspek Kesehatan Ternak
Berdasarkan hasil pengamatan, semua peternak telah melakukan pengobatan bahkan biasanya peran petugas lapangan turut terlibat didalamnya. Informasi yang didapat apabila terlambat dalam pengobatan ternak akan segera dijual, bahkan kadangkala ada ternak yang hilang bahkan ada yang mati karena terlambat penanganan. Dalam merawat ternak, umumnya peternak belum melakukan pembersihan ternak. Bagi peternak,  sapi pada umumnya akan mencari pakan dipadang rumput atau pekarangan sehingga ternak tidak perlu dibersihkan karena secara alami akan bersih dengan sendirinya.
Dari hasil wawancara juga didapatkan bahwa hampir semua kelompok penerima bantuan ternak sapi gaduhan belum bisa mendiagnosa penyebab serta pencegahan terhadap penyakit yang akan menyerang sapi bali yang dipeliharanya. Salah satu yang menjadi kendala peternak adalah mereka sendiri belum pernah mengikuti pelatihan atau pendampingan dari dinas terkait tentang cara penanganan penyakit, akibatnya yang berperan dalam pengobatan adalah petugas lapangan dari Dinas Peternakan. Kesehatan sapi merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mencapai suatu keberhasilan usaha peternakan sapi          (Murtidjo, 1990). Dengan demikian, ini merupakan  salah satu penyebab lambatnya peningkatan usaha peternakan sapi di Distrik Prafi pada khususnya dan Manokwari pada umumnya, bahkan daerah-daerah lain di Provinsi Papua Barat. Jenis penyakit yang sering menyerang sapi peternak hampir adalah cacingan, caplak, ingusan, mencret (Calf scours) dan mata berair. Bandini (1997), menyatakan bahwa gangguan penyakit pada sapi bali tidak banyak karena daya adaptasinya baik dibanding dengan sapi lokal lainnya. Selanjutnya penelitian Akoso (1996) menyatakan bahwa faktor penting penyebab gangguan kesehatan adalah faktor mekanis, racun, nutrisi, organisme renik dan predeposisi.                                                                        


Jenis dan Jumlah Pakan
Pennisetum purpureum
 Jenis pakan yang diberikan oleh peternak adalah campuran rumput alam, rumput raja (Pennisetum purpureophoides), rumput gajah (Pennisetum purpureum) serta beberapa jenis legum. Dalam pemberian pakan kepada ternak, umumnya ternak dilepas di padang pengembalaan dan mencari makannya sendiri selama 6 – 7 jam, dan hanya 2 – 4 jam sapi digembalakan peternak di pinggiran sawah maupun di bawah naungan kelapa sawit. Pada umumnya hanya sedikit petani peternak yang memberikan kombinasi hijauan potongan. Hal ini merupakan kendala karena pemberian pakan umumnya hanya sedikit dilakukan peternak, ternak lebih banyak dibiarkan merumput sendiri tanpa ada kombinasi pakan yang bermutu tinggi baik kualitas maupun  kuantitasnya. Sarwono, (2004) menyatakan pakan yang sempurna harus banyak mengandung kelengkapan protein, karbohidrat, lemak, air vitamin dan mineral.
Peternak rata-rata melakukan pemberian air minum, namun tidak secara kontinyu karena tergantung perubahan cuaca. Penggunaan garam mineral didalam air minum umumnya kurang dilakukan, karena peternak harus mengeluarkan biaya untuk membelinya serta berkompetisi dengan kebutuhan hidup mereka. Menurut Murtidjo (1990), kekurangan mineral akan menyebabkan ternak yang dipelihara akan mengalami penurunan napsu makan dan berdampak pada penurunan berat badan, selanjutnya Gunawan dkk, (1998) menyatakan bahwa air merupakan zat yang penting untuk proses metabolisme dalam tubuh ternak serta berfungsi sebagai pengantar panas, penyebar panas dalam proses pencernaan. Peternak umumnya memberikan hijauan 20 – 30 kg/ikat. Menurut Bandini (1997), pemberian pakan harus 10% dari berat badan. Dengan demikian peternak masih bisa memenuhi kebutuhan pakan ternak. Dalam pemberian pakan yang dilakukan masih tidak teratur, bagi petani rumput selalu tersedia di alam sehingga banyak yang tidak memberikan pakan tambahan.


                                                                                                                                                                   Aspek Perkandangan
       
Kandang Sapi Peternak
   Menurut Sarwono dan Arianto (2007) kandang sangat diperlukan dalam melindungi ternak dari keadaan lingkungan yang tidak mendukung, sehingga kandang sebagai pelindung dan memberikan kenyamanan bagi ternak. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, hampir tidak ditemukan adanya petani peternak yang membuat bangunan kandang, hal ini disinyalir karena minimnya pengetahuan peternak terhadap manfaat yang diperoleh bila memiliki kandang. Petani peternak cenderung beranggapan bahwa sapi sudah mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Siregar (2002) menyatakan bahwa dengan adanya kandang akan memberikan kemudahan dalam perawatan sapi, sehingga ternak tersebut tidak berkeliaran sehingga mampu menjaga kebersihan lingkungan.

Hasil Produksi
            Dalam melakukan kajian dlapangan, diperoleh data bahwa harga sapi bali sangat tergantung pada bobot  badan atau kondisi tubuh dan umur ternak. Pada umumnya sapi dijual hidup dengan kisaran harga untuk sapi pedet berkisar antara Rp.850.000 – Rp.2.500.000, harga sapi muda baik jantan maupun betina berkisar antara Rp. 2.400.000 – Rp.4.000.000, dan sapi betina dewasa berkisar antara Rp. 3.500.000 – Rp. 5.500.000 dan harga sapi jantan dewasa berkisar antara Rp.4.500.000 – Rp. 7.000.000. Hal ini menunjukkan bahwa pemeliharaan ternak sapi sangan menguntungkan untuk dijadikan sebagai tabungan untuk sewaktu-waktu digunakan.
            Untuk wilayah Distrik Prafi, peternak umumnya menjual kepada pedagang pengumpul, hal ini disebabkan karena terbatasnya sarana transportasi untuk menjual ke kota. Dalam penjual ternak terhadap pedagang didalam suatu lokasi tertentu menjadi penghambat dalam pemasaran sehingga mengindikasikan harga jual produk ditekan serendah mungkin sehingga peternak tidak memperoleh keuntungan yang maksimal. Produk hasil utama pemeliharaan sapi di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari adalah daging, sedangkan produk sampingan berupa jerohan, kulit dan feses tidak ditemukan karena peternak menjual langsung ke penjagal. Dalam penjual ternak sapi, biasanya dilakukan secara terpaksa karena kebutuhan ekonomi maupun ternak tersebut mengalami sakit. Sapi bali bali bila dimanfaatkan fesesnya baik untuk pupuk maupun pembuatan biogas. Menurut Gunawan (1998), sapi bali dapat mengasilkan pupuk kandang untuk 15 – 17 kg/ekor/hari dari ternak sapi dewasa atau setara dengan 6 ton/tahun.

KESIMPULAN
Pada umumnya petani peternak pengaduh sapi bali bantuan pemerintah masih rendah dalam memperhatikan aspek reproduksi serta dalam pengobatan penyakit masih membutuhkan bantuan petugas peternakan. Karena umumnya tidak mempunyai pengetahuan tentang penyakit. Peternak sudah memperhatikan aspek pemberian pakan dan air minum. Semua petani peternak  tidak mempunyai kandang. Dalam pengelolahan hasil produksi, seluruh peternak belum secara optimal memanfaatkan hasil pemeliharan sapi yang dikembangkannya.

DAFTAR PUSTAKA
Dinas Peternakan Kabupaten Manokwari. 2006. Laporan Tahunan. Dinas Peternakan Kabupaten Manokwari
Akoso, B.T 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta
Bamualim, A. 1991. Penampilan Produksi Ternak Sapi dan Kerbau Sebagai Sumber Daging di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.
Bandini, Y, 1997. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta
Gunawan, dkk, 1998. Sapi Bali (Potensi, Produktifitas dan Nilai Ekonomi). Kanisius. Yogyakarta
Kartadisastra, H. 1997. Penyediaan dan pengelolahan Pakan Ternak Ruminansia (Sapi, Kerbau, Domba, Kambing). Kanisius. Yogyakarta
Murtidjo,  B.   1990.     Beternak     Sapi     Potong. Kanisius. Yogyakarta.
Paat P.C, Umar Abduh dan Amba Tikupadang, 1991. Pengaruh Penambahan Legum dan Perbaikan Manajemen Terhadap Produktivitas Sapi Bali Pada Kondisi Ekstensif  Prosiding Seminar Nasional Sapi Bali. Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung Pandang.
Sarwono B. dan Arianto H. B,  2007. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar,    B. S.   2002.        Penggemukan       Sapi.     Penebar  Swadaya. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar