Evaluasi Kinerja Pembangunan Peternakan di Provinsi Papua

EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN PETERNAKAN PROVINSI PAPUA

(EVALUATION OF HUSBANDRY MANAJEMEN DEVELOPMENT IN PAPUA PROVINCE)

Lukas Y. Sonbait

Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari

Pendahuluan

Provinsi Papua yang luasnya mencapai 317.062 km², memiliki luas perairan 228.000 km. Wilayah ini juga memiliki potensi lestari kayu komersial 540 juta m³, menghasilkan 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Terdapat deposit 2,5 miliar bahan tambang emas dan batubara, hanya di kawasan konsesi PT Freeport. Memiliki kawasan hutan 42.224.840 ha, terdiri dari hutan lindung 10.619.090 ha, kawasan konservasi 9.704.300 ha, hutan produksi 10.585.210 ha, hutan produksi terbatas 2.051.110 ha, dan hutan konversi 9.262.130 ha. Luas hutan konversi ini dapat digarap menjadi lahan perkebunan, tanaman pangan, holtikultura, dan peternakan produktif. Luasan hutan konversi ini baru 2,36% yang dimanfaatkan, selebihnya masih berupa potensi yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi rakyat Papua kecuali diolah.

Meski kaya dengan sumberdaya alam, fakta menunjukkan dari jumlah rumah tangga yang mencapai 480.578, lebih dari 80 persen adalah rumah tangga miskin. Kelompok ini bermukim di kampung-kampung, pesisir pantai, pulau-pulau kecil, pegunungan dan pedalaman. Dapat dipastikan sebagian besar diantaranya menggantungkan hidup di sektor pertanian dalam arti luas yaitu tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan termasuk peternakan yang sudah lebih dari 4 dekade melakukan introduksi dan redistribusi berbagai jenis ternak, namun penampilan produksi belum menunjukkan trend yang mampu mendukung program swasembada, malahan sebaliknya kasus degenerasi pada beberapa jenis ternak makin dominan.

Oleh sebab itu, kinerja pembangunan peternakan perlu dievaluasi, meski disadari beberapa fungsi manajemen, aspek evaluasi dinilai sulit dilakukan karena beberapa alasan: bervariasinya program dan kegiatan yang dijalankan di provinsi maupun kabupaten/kota yang menjalankan fungsi peternakan, dan bervariasinya tolok ukur yang menjadi pedoman evaluasi. Meski demikian, evaluasi kinerja pembangunan peternakan menjadi sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat bagi kepentingan perencanaan pembangunan peternakan berikutnya.

Beberapa tujuan yang dicapai dari hasil penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kinerja pembangunan peternakan yang mencakup 5 tujuan pembangunan peternakan yaitu kualitas dan kuantitas bibit ternak, budidaya, kesehatan hewan, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH, dan pelayanan prima masyarakat peternakan;

2. Mengetahui kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan yang meliputi program percepatan swasembada daging sapi (P2SDS), restrukturisasi perunggasan (RP), restrukturisasi industri persusuan (RPS), dan penanggulangan avian influenza (AI);

3. Mendapatkan umpan balik dari daerah terkait program pembangunan peternakan berdasarkan kebijakan pusat.

Metoda

Kegiatan evaluasi kinerja ini dilaksanakan pada dinas yang menjalankan fungsi peternakan baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota yang dipilih, yaitu Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Biak Numfor, dan Kotamadya Jayapura. Data yang dihimpun adalah data sekunder dan wawancara dengan penanggung jawab kegiatan dan responden kunci. Analisis dilakukan secara tabulasi.

Hasil dan Pembahasan

1. Evaluasi kinerja tujuan pembangunan peternakan

Kinerja Tujuan Pembangunan Peternakan

Nilai Tujuan

Kesimpulan Tujuan

I. Peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak

46,01

Cukup

II. Pengembangan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak

64,28

Baik

III. Peningkatan dan mempertahankan status kesehatan hewan

54,24

Cukup

IV. Peningkatan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH

22,55

Kurang

V. Peningkatan pelayanan prima pada masyarakat peternakan

40,19

Cukup

Upaya perbaikan mutu genetik (regenerasi) ternak melalui program perbibitan (breeding centre) dan breeding farm belum menjadi fokus utama. Sebaliknya, budidaya ternak dengan introduksi dan redistribusi bibit tanpa sistem dan prosedur seleksi yang ketat masih menjadi fenomena klasik. Status kesehatan hewan mengalami peningkatan aktivitas sehubungan dengan berkembangnya isu beberapa penyakit hewan menular (zoonosis). Jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH belum menjadi prioritas utama, sedangkan pelayanan prima masyarakat peternakan belum optimal sebagai konsekuensi terbatasnya jumlah dan mutu pelayanan karena sumberdaya manusia peternakan yang terbatas.

2. Evaluasi kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan

Kinerja Kegiatan Utama Pembangunan Peternakan

Nilai

Kesimpulan

Percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS)

62,76

Potensial Tercapai

Restrukturisasi perunggasan (RP)

50,42

Cukup

Restrukturisasi industri persusuan (RPS)

53,48

Cukup

Penanggulangan avian influenza (AI)

51,85

Cukup

P2SDS berpotensi untuk dicapai karena besarnya daya dukung pakan yang bersumber dari hijauan dan limbah pertanian/perkebunan, namun belum diikuti program penggemukan (fattening). RP mulai dibenahi melalui restrukturisasi perunggasan dengan penataan pemeliharaan unggas di pemukiman. RPS belum berkontribusi pada suplai susu segar, namun pengembangan ternak perah dan pengadaan konsentrat lokal sebagai pakan tambahan merupakan daya dukung yang potensial. Upaya pemutusan mata rantai berjangkitnya penyakit avian influenza (AI) terus menjadi prioritas dalam mengembangkan ternak unggas.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat

No

Aspek

Nilai

Kesimpulan

Faktor Penyebab (Rangking)***

Koordinasi

Peraturan

Kewenangan

Konsistensi

A

Kebijakan

5.97

Puas

2.13

2.38

2.45

2.93

B

Program dan kegiatan

6.27

Puas

2.10

2.15

2.05

2.80

C

Target dan sasaran

6.37

Puas

2.43

2.33

2.07

2.63

D

Kewenangan

4.90

Tidak Puas

.17

2.30

2.57

2.77

E

Pendanaan

5.17

Puas

2.03

1.77

1.93

2.53

F

Kelembagaan

5.75

Puas

1.90

2.15

1.70

2.35

Persepsi daerah bersumber dari pejabat dan petugas yang menjalankan fungsi peternakan di provinsi dan kabupaten/kota, pihak perguruan tinggi dan praktisi peternakan. Informasi ini memberikan penilaian terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasikan ke daerah. Terdapat jawaban yang bervariasi yaitu ada yang puas dan tidak puas. Dari keenam variabel yaitu kebijakan, program dan kegiatan, target dan sasaran, kewenangan, pendanaan, dan kelembagaan, ternyata variabel kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Kesimpulan

1. Kinerja pembangunan peternakan memiliki 5 tujuan, peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak dinilai cukup, usaha budidaya dinilai baik, status kesehatan hewan dinilai cukup, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH dinilai kurang, dan peningkatan pelayanan prima masyarakat peternakan juga cukup.

2. Kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan melalui program P2SDS berpotensi untuk dicapai, RP cukup, RPS cukup, dan AI juga cukup.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasi ke daerah dari aspek kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Senin, 28 Maret 2011

Identifing Problems of Veterinary Communication in Manokwari Regency

IDENTIFIKASI PROBLEM KOMUNIKASI PETERNAKAN
DI KABUPATEN MANOKWARI

Oleh 
 Lukas Y. Sonbait, S.Pt

Mahasiswa Pascasarjana Program Megister Ilmu Peternakan
Bidang Studi Komunikasi, Manajemen dan Bisnis Peternakan
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta 



Pendahuluan
Komunikasi adalah proses yang pasti terjadi dalam kehidupan masyarakat, karena didalam masyarakat terjadi interaksi maka sudah pasti akan terjadi komunikasi. Untuk masyarakat Papua khususnya kabupaten manokwari mempunyai karakteristik tersendiri maka proses komunikasi harus disesuaikan dengan kondisi daerah tersebut. Masalah yang dihadapi dalam meningkatkan peran subsektor peternakan untuk meningkatkan peran media komunikasi di masyarakat adalah belum tersebarnya informasi peternakan  yang nyata di masyarakat serta masih rendahnya kesadaran peternak dan peran penyuluh dalam merubah sikap petani dalam mengadopsi informasi baru. Peran penyuluh sebagai penyebar informasi sekaligus sebagai penentu keberhasilan masyarakat sangat diperlukan peranannya. Penyuluh diharapkan memiliki skill dan pengetahuan lebih sehingga mampu mengaplikasikan ilmunya untuk petani peternak.                                                                   
            Keberhasilan pembangunan berbasis peternakan sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang berperan serta dalam usaha tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) sebagai agent of technology maupun para praktisi di bidang peternakan dianggap mempunyai pengetahuan yang baik, sebagai salah satu komponen pengubah perilaku petani, dan sebagai pembawa pesan teknologi ke petani belum memahami secara baik tentang aspek-aspek antropologi, sosiologi dan psikologi. Pesan-pesan inovasi dari PPL baik melalui komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok maupun komunikasi massa belum mampu meyakinkan petani untuk mengadopsi teknologi secara cepat.  
            Pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan menyampaikan pesan secara efektif sebaiknya dimiliki oleh seorang penyuluh sebagai seorang opinion leaders dalam upaya meningkatkan kemampuan peternak pada kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksinya. Keberhasilan dalam mengembangkan usaha ternak juga tergantung dari kesadaran peternak untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memajukan usaha yang mereka kelola. Karakteristik peternak bisa dipengaruhi oleh : 1) umur, 2) pendidikan, 3) sikap terhadap perubahan, 4) motivasi berkarya, 5) karakteristik psikologi, 6) sistem sosial dan adat istiadat, sedangkan sumber informasi dapat dilihat dari : 1) frekuensi bertemu dengan penyuluh 2) frekuensi menonton televisi, 3) frekuensi mendengarkan radio, 4) frekuensi mengikuti pelatihan dan 5) frekuensi mendapat brosur/tulisan tentang peternakan.                       
            Dalam merencanakan dan membuat program penyuluhan  dituangkan dalam bentuk praktek selanjutnya penyuluh pertanian membantu ditingkat  desa kepada petani maupun kelompok petani. informasi tersebut dapat disampaikan melalui kunjungan kepada peternak, sarasehan, temuan kelompok (Soekartawi, 1988). Dalam penyampaian informasi yang dilakukan kepada peternak sebagai adopter maka penyampaian informasi harus memenuhi Kriteria:
  1. Sederhana dan tidak berbelit-belit
  2. Sudah dipraktekkan kepada petani
  3. Mudah dan bahannya tersedia dilokasi setempat
  4. Tidak mengandung resiko yang tinggi.
 Profil Singkat Kabupaten Manokwari
Manokwari adalah ibukota Provinsi Papua. Kabupaten Manokwari terdiri dari 29 Distrik, dan 132 kampung. Kabupaten Manokwari sering juga disebut kota buah-buahan karena di sini tanahnya sangat subur untuk berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Namun dengan seiring maka dirubah lagi dengan sebutan kota Injil sebagai tempat masuknya injil pertama kali di tanah papua pada tanggal 05 februari 1855. Penduduk Asli Kabupaten Manokwari terdiri dari beberapa suku seperti Suku, Sough, Suku Hatam, Suku Moile Meach dan Suku Wamesa, Suku-suku ini mempunyai ciri khas yang unik dan berbeda satu sama lain. Luas wilayah Kabupaten Manokwari dimana dengan luas wilayah 14.448,50 Km2 terletak di bagian kepala burung Pulau Papua. Ia berbatasan sebelah Utara dengan Samudera Pasifik, sebelah Selatan dengan Kabupaten Teluk Bintuni, sebelah Timur dengan Kabupaten Teluk Wondama, dan Barat dengan Kabupaten Sorong Selatan (BPS Kabupaten Manokwari, 2010) Manokwari bersama kabupaten lain seperti Fakfak dan Sorong yang berada di bagian barat kepulauan Papua lebih dipengaruhi oleh penduduk dari kepulauan Maluku (Ambon, Ternate, Tidore, Seram dan Key), maka adalah tidak mengherankan Manokwari lebih pantas digolongkan sebagai Ras Melanesia dari pada Ras Papua karena hampir semua suku ada di wilayah ini. Komoditas ternak di Manokwari adalah sapi Bali yaitu 20,321ekor (Dinas Pertanian dan Peternakan Prov. Papua Barat, 2010). Ternak ini umumnya dipelihara oleh penduduk transmigrasi dengan pola pemeliharaan ekstensif, sedangkan  ternak babi yan umumnya diusahakan oleh penduduk lokal sebagai komoditas yang mempunyai status social tinggi bagi pemiliknya. Jumlah populasi ternak babi mencapai 3.298 ekor (BPS, Papua Barat, 2008).

Penyuluh Lapangan di Manokwari
            Penyebaran PPL di Provinsi Papua Barat khususnya manokwari belum merata. Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010 (BPS Kab. Manokwari, 2010), jumlah penduduk Kabupaten Manokwari adalah 187.591 orang, yang terdiri atas 98.762 laki – laki dan 88.829 perempuan. Dilihat dari jumlah PPL,  Kabupaten ini  hanya memiliki 112 orang PPL dan membawahi 378 kelompok tani (FPPK UNIPA, 2008). Hal ini menjadi kendala bagi penyuluh dalam penanganan kelompok tani. Untuk wilayah Papua barat dari 926 kelompok tani, sekitar 84% berada pada kelas pra pemula dan pemula. Selain itu belum adanya Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) sehingga masih banyak pelatihan yang dilakukan diluar Papua barat. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh daerah untuk meningkatkan kualitas aparatur di masa yang akan datang.

Kondisi Media Komunikasi di Manokwari
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Pada masyarakat penyebar informasi yang disampaikan oleh penyuluh maupun seorang opinion leaders di tengah masyarakat berbeda sesuai dengan tipe  masyarakat. Pada masyarakat manokwari biasanya dibedakan atas masyarakat Asli/lokal yang berasal dari (Hatam, Moelah, Meach, Kebar, Mandacan) dan masyarakat transmigrasi/masyarakat asli papua non suku manokwari/non papua. Pada masyarakat lokal dalam menerima informasi dari penyuluh maupun change agent pada umumnya masih berjalan lambat (Laggard) untuk sadar dan menaruh minat untuk terlibat dalam informasi peternakan yang diterima, serta masih lambat dalam mengadopsi informasi yang disampaikan. Berbeda dengan masyarakat  non papua atau masyarakat pendatang (transmigrasi) mereka lebih mudah menyerap inovasi karena tingkat pengetahuan yang makin tinggi.

a.      Masalah Adopsi Inovasi
            Kecenderungan melambatnya kecepatan adopsi dan pemanfaatan teknologi di Manokwari dan beberapa daerah lain di Papua juga disebabkan  oleh: (1) perencanaan pengembangan teknologi tidak sesuai dengan pengembangan wilayah dan kebutuhan masyarakat lokal; (2) sistem penyebaran inovasi teknologi dan terbatasnya akses petani pada sumber inovasi teknologi dan media komunikasi inovasi; dan (3) penyaluran informasi teknologi melalui sosial kapital terutama melalui jaringan jaringan relatif rendah. Selama otonomi daerah penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak lagi berjalan sesuai yang diharapkan karena penyuluh lebih banyak mengerjakan administrasi struktural daripada melakukan tugas fungsionalnya sebagai penyuluh. Kondisi ini menyebabkan mereka menjadi skeptis dan acuh tak acuh terhadap program dan kegiatan pembangunan pertanian (Widjaja, 1986). Dampaknya adalah bahwa lembaga penyuluhan tidak lagi dikelola secara baik dan petani dibiarkan untuk mencari sendiri informasi inovasi teknologi. Para petani kehilangan mitra kerja yang telah terbina selama ini. Peran media massa (cetak dan elektronik) dalam transfer informasi inovasi teknologi pertanian selama ini belum berjalan dengan baik. Untuk itu diperlukan upaya pengembangan media komunikasi untuk pengembangan pertanian secara umum.
b.  Jenis Media
Media komunikasi yang umumnya digunakan adalah surat kabar, majalah, radio, TV, Film, buku dan sebagainya.  kepada masyarakat lokal media yang digunakan adalah; bahasa yang mudah di mengerti atau menggunakan tenaga penterjemah dalam bahasa daerah, tindakan dan perbuatan oleh penyuluh/opinion leaders atau melakukan demonstrasi terhadap masyarakat, menggunakan tanda-tanda tertentu (Pukul tifa sdb), Audio Visual (Gambar, peta dsb), harapannya adalah terjadi perubahan bagaimana masyarakat secara umum mengadopsi inovasi yang disampaikan.
c. Kelembagaan                                                                                                     
Budaya pertanian di Papua khususnya di Manokwari menunjukkan polarisasi antara etnis Papua (Mandacan, kebar, hatam dsb) dan etnis pendatang (Terutama penduduk transmigran). Etnis pendatang/masyarakat transmigrasi umumnya memiliki penguasaan teknik beternak secara modern dan telah memiliki orientasi ekonomi dan agribisnis. Dalam penggunanaan media komunikasi mereka telah menggunakan alat-alat peraga yang mudah di serap seperti penggunaan media massa serta memiliki komunikasi antara individu/kelompok sudah terjalin dengan baik. Sebaliknya masyarakat lokal, kebanyakan masih berorientasi pada kegiatan subsistem, motivasi ekonomi rendah budaya bertani/beternak masih di kontrol oleh norma dan adat istiadat setempat. (Suradisastra, 2001). Selain itu mereka lebih senang kalau kegiatan penyuluhan yang diadakan harus ada intensifnya seperti penyediaan makanan, rokok bahkan uang duduk. Dalam pelaksanaan dilapangan penyuluh kurang aktif melakukan kegiatan penyuluhan karena tergantung oleh kegiatan proyek pemerintah, selain itu jarak/lokasi desa yang jauh merupakan faktor penghambat informasi kepada masyarakat. Kelemahan lain yang diterima dilapangan adalah hambatan Sosio-kultural (Etnik, norma sosial, bahasa, pendidikan sdb). Rendahnya sumberdaya manusia, terutama masih banyak peternak yang belum bisa menulis/membaca sehingga walaupun menggunakan media komunikasi yang baik namun tidak bisa diterima oleh masyarakat dengan baik. Proses adopsi teknologi dan penyuluhan sering melupakan posisi dan kelembagaan lokal seperti kepala suku (Ondoafi, keret dll). Selain itu ketrampilan dan pengetahuan masyarakat lokal belum mampu mengakomodasi pola pikir teknik serta Budaya beternak modern yang sarat dengan inovasi. Masyarakat masih berharap penuh pada alam sehingga terkadang informasi yang positif untuk pembangunan peternakan belum di terima dengan baik.
                                                                                                                                   
Analisis Permasalahan
          Permasalahan umum pengembangan media komunikasi untuk pembangunan peternakan di Manokwari adalah masih rendahnya peran media dalam menyebarkan informasi terutama kepada masyarakat lokal, lemahnya kapabilitas dan ketersediaan sumberdaya manusia, rendahnya infrastruktur  hingga ke daerah-daerah sehingga banyak informasi peternakan yang belum diterima di masyakakat serta rendahnya tingkat adopsi inovasi bidang peternakan. Pembangunan peternakan di Papua barat belum ditunjang media yang baik sehingga peternak lokal masih saja bergelut dengan permasalahan yang dihadapinya, selain itu tidak ditunjang dengan SDM yang kuat seperti tenaga terampil dibidang peternakan, etos kerja penduduk local yang rendah serta budaya usaha tradisional yang kuat, belum mambaurnya etnis lokal/pendatang sehingga sebagai penerima media komunikasi yang modern dan lebih cepat serta masyarakat local pada umumnya belum mampu bersaing dengan masyarakat peternak dari luar/pendatang.


Strategi Pengembangan
            Berdasarkan potensi dan permasalahan yang telah dibahas, maka dapat disusun strategi pengembangan media komunikasi untuk pembangunan peternakan di Kabupaten Manokwari. Berdasarkan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity and threarth) adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Analisis SWOT pengembangan media komunikasi untuk pembangunan   peternakan di Kabupaten Manokwari.
        
             Faktor Internal


   




    Faktor Eksternal
KEKUATAN (S)
KELEMAHAN (W)
1.    Media Komunikasi belum dilakukan secara efektif
2.    Masuknya Teknologi komunikasi ke daerah pedalaman
3.    Peningkatan SDM Penyuluh
4.    Populasi Ternak yang meningkat

1. SDM petani terbatas
2. Infrastruktur/Tingkat Adopsi rendah.
3. Opinion leaders  kurang
4. Penerapan teknologi media komunikasi rendah
5. Penyuluh kurang efektif/budaya beternak masyarakat masih tradisional
PELUANG (O)
S-O
W-O
1.       Teknologi Informasi Semakin mudah diterima Masyarakat
2.       Kesadaran/minat akan informasi peternakan tinggi
3.       Adanya dana Otsus untuk pemberdayaan masyarakat lokal
4.       Manokwari menjadi pusat pengembangan ternak

1.    Memanfaatkan media komunikasi secara efektif untuk menerima informasi positif bidang peternakan
2.    Melakukan penyuluhan secara kontinyu dengan memanfaatkan komunikasi efektif
3.    Mengangkat potensi peternakan daerah lewat media dan meyakinkan peternak lewat informasi yang disampaikan
4.    Pengembangan media komunikasi ke semua stakeholder.

1. Sosialisasi dan penyuluhan menggunakan media (cetak/elektronik) secara efektif
2. Memperbaiki sistem penyuluhan dengan menggunakan media komunikasi untuk meningkatkan adopsi informasi peternakan
3. Memperbaiki infrastruktur untuk meningkatkan aksebilitas informasi kepada masyarakat
Mengadakan pelatihan, membuka pusat studi untuk mempermudah proses penerimaan informasi
ANCAMAN (T)
S-T
W-T
1.      Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah rendah
2.      Nilai budaya di  masyarakat memudar
3.      Kurangnya fasilitas pelatihan Penyuluh
4.      Globalisasi Tenaga Kerja
1.   Optimalisasi penggunaan media di masyarakat dan memberikan pemikiran positif terhadap perubahan dengan tetap menjaga budaya nya
2.   Pembangun Institusi formal dan memfasilitasi pengembangan pendidikan latihan kerja pada petani peternak.
1.Pemberdayaan SDM secara individu/kelompok melalui pendidikan, magang,pelatihan  untuk mempercepat adopsi  media secara bertahap.
2.Pelatihan pendekatan partisipatif bagi para penyuluh
3.Komunikasi yang memadai

Kesimpulan
  1. Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia petani maupun keterbatasan penyuluh merupakan kendala yang menghambat rendahnya media komunikasi yang terserap di masyarakat.
  2. Perlu mengevaluasi media komunikasi peternakan yang sangat cocok diterapkan di Papua dibandingkan dengan daerah lain, karena faktor budaya dan adat istiadat masyarakat.
  3. Pemerintah Kabupaten Manokwari harus membangun infrastuktur yang belum tersedia, memfasilitasi serta membuat program yang menyentuh dimasyarakat secara efektif serta partisipasi aktif masyarakat masyarakat asli melalui perubahan kebiasan lama dan mengadopsi inovasi baru melalui media komunikasi untuk kesejahteraan masyarakat petani peternak di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Anonimous 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Papua Barat 2010. Manokwari.
BPS-PB (Badan Pusat Statistik Papua Barat) 2007 dan 2008. Papua Barat dalam Angka. Manokwari.
BPS-PB (Badan Pusat Statistik Papua Barat) 2010. Papua Barat dalam Angka. Manokwari.
FPPK UNIPA 2008. Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Peternakan  Provinsi Papua Barat. Manokwari: Kerjasama FPPK UNIPA dan Dinas Pertanian Peternakan dan ketahanan Pangan Provinsi Papua Barat.
Soekartiwi, 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta
Suradisastra, K. 2001. Rancangan strategik Pengembangan investasi di kawasan timur Indonesia. Dalam: Kawasan Timur Indonesia dan Prospek Investasi. Lembaga Informasi Nasional. Hal 29-42.
Widjaja A .W,  1986.   Komunikasi:  Komunikasi  dan  Hubungan  Masyarakat. Bumi Aksara. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar