Evaluasi Kinerja Pembangunan Peternakan di Provinsi Papua

EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN PETERNAKAN PROVINSI PAPUA

(EVALUATION OF HUSBANDRY MANAJEMEN DEVELOPMENT IN PAPUA PROVINCE)

Lukas Y. Sonbait

Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari

Pendahuluan

Provinsi Papua yang luasnya mencapai 317.062 km², memiliki luas perairan 228.000 km. Wilayah ini juga memiliki potensi lestari kayu komersial 540 juta m³, menghasilkan 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Terdapat deposit 2,5 miliar bahan tambang emas dan batubara, hanya di kawasan konsesi PT Freeport. Memiliki kawasan hutan 42.224.840 ha, terdiri dari hutan lindung 10.619.090 ha, kawasan konservasi 9.704.300 ha, hutan produksi 10.585.210 ha, hutan produksi terbatas 2.051.110 ha, dan hutan konversi 9.262.130 ha. Luas hutan konversi ini dapat digarap menjadi lahan perkebunan, tanaman pangan, holtikultura, dan peternakan produktif. Luasan hutan konversi ini baru 2,36% yang dimanfaatkan, selebihnya masih berupa potensi yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi rakyat Papua kecuali diolah.

Meski kaya dengan sumberdaya alam, fakta menunjukkan dari jumlah rumah tangga yang mencapai 480.578, lebih dari 80 persen adalah rumah tangga miskin. Kelompok ini bermukim di kampung-kampung, pesisir pantai, pulau-pulau kecil, pegunungan dan pedalaman. Dapat dipastikan sebagian besar diantaranya menggantungkan hidup di sektor pertanian dalam arti luas yaitu tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan termasuk peternakan yang sudah lebih dari 4 dekade melakukan introduksi dan redistribusi berbagai jenis ternak, namun penampilan produksi belum menunjukkan trend yang mampu mendukung program swasembada, malahan sebaliknya kasus degenerasi pada beberapa jenis ternak makin dominan.

Oleh sebab itu, kinerja pembangunan peternakan perlu dievaluasi, meski disadari beberapa fungsi manajemen, aspek evaluasi dinilai sulit dilakukan karena beberapa alasan: bervariasinya program dan kegiatan yang dijalankan di provinsi maupun kabupaten/kota yang menjalankan fungsi peternakan, dan bervariasinya tolok ukur yang menjadi pedoman evaluasi. Meski demikian, evaluasi kinerja pembangunan peternakan menjadi sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat bagi kepentingan perencanaan pembangunan peternakan berikutnya.

Beberapa tujuan yang dicapai dari hasil penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kinerja pembangunan peternakan yang mencakup 5 tujuan pembangunan peternakan yaitu kualitas dan kuantitas bibit ternak, budidaya, kesehatan hewan, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH, dan pelayanan prima masyarakat peternakan;

2. Mengetahui kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan yang meliputi program percepatan swasembada daging sapi (P2SDS), restrukturisasi perunggasan (RP), restrukturisasi industri persusuan (RPS), dan penanggulangan avian influenza (AI);

3. Mendapatkan umpan balik dari daerah terkait program pembangunan peternakan berdasarkan kebijakan pusat.

Metoda

Kegiatan evaluasi kinerja ini dilaksanakan pada dinas yang menjalankan fungsi peternakan baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota yang dipilih, yaitu Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Biak Numfor, dan Kotamadya Jayapura. Data yang dihimpun adalah data sekunder dan wawancara dengan penanggung jawab kegiatan dan responden kunci. Analisis dilakukan secara tabulasi.

Hasil dan Pembahasan

1. Evaluasi kinerja tujuan pembangunan peternakan

Kinerja Tujuan Pembangunan Peternakan

Nilai Tujuan

Kesimpulan Tujuan

I. Peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak

46,01

Cukup

II. Pengembangan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak

64,28

Baik

III. Peningkatan dan mempertahankan status kesehatan hewan

54,24

Cukup

IV. Peningkatan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH

22,55

Kurang

V. Peningkatan pelayanan prima pada masyarakat peternakan

40,19

Cukup

Upaya perbaikan mutu genetik (regenerasi) ternak melalui program perbibitan (breeding centre) dan breeding farm belum menjadi fokus utama. Sebaliknya, budidaya ternak dengan introduksi dan redistribusi bibit tanpa sistem dan prosedur seleksi yang ketat masih menjadi fenomena klasik. Status kesehatan hewan mengalami peningkatan aktivitas sehubungan dengan berkembangnya isu beberapa penyakit hewan menular (zoonosis). Jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH belum menjadi prioritas utama, sedangkan pelayanan prima masyarakat peternakan belum optimal sebagai konsekuensi terbatasnya jumlah dan mutu pelayanan karena sumberdaya manusia peternakan yang terbatas.

2. Evaluasi kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan

Kinerja Kegiatan Utama Pembangunan Peternakan

Nilai

Kesimpulan

Percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS)

62,76

Potensial Tercapai

Restrukturisasi perunggasan (RP)

50,42

Cukup

Restrukturisasi industri persusuan (RPS)

53,48

Cukup

Penanggulangan avian influenza (AI)

51,85

Cukup

P2SDS berpotensi untuk dicapai karena besarnya daya dukung pakan yang bersumber dari hijauan dan limbah pertanian/perkebunan, namun belum diikuti program penggemukan (fattening). RP mulai dibenahi melalui restrukturisasi perunggasan dengan penataan pemeliharaan unggas di pemukiman. RPS belum berkontribusi pada suplai susu segar, namun pengembangan ternak perah dan pengadaan konsentrat lokal sebagai pakan tambahan merupakan daya dukung yang potensial. Upaya pemutusan mata rantai berjangkitnya penyakit avian influenza (AI) terus menjadi prioritas dalam mengembangkan ternak unggas.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat

No

Aspek

Nilai

Kesimpulan

Faktor Penyebab (Rangking)***

Koordinasi

Peraturan

Kewenangan

Konsistensi

A

Kebijakan

5.97

Puas

2.13

2.38

2.45

2.93

B

Program dan kegiatan

6.27

Puas

2.10

2.15

2.05

2.80

C

Target dan sasaran

6.37

Puas

2.43

2.33

2.07

2.63

D

Kewenangan

4.90

Tidak Puas

.17

2.30

2.57

2.77

E

Pendanaan

5.17

Puas

2.03

1.77

1.93

2.53

F

Kelembagaan

5.75

Puas

1.90

2.15

1.70

2.35

Persepsi daerah bersumber dari pejabat dan petugas yang menjalankan fungsi peternakan di provinsi dan kabupaten/kota, pihak perguruan tinggi dan praktisi peternakan. Informasi ini memberikan penilaian terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasikan ke daerah. Terdapat jawaban yang bervariasi yaitu ada yang puas dan tidak puas. Dari keenam variabel yaitu kebijakan, program dan kegiatan, target dan sasaran, kewenangan, pendanaan, dan kelembagaan, ternyata variabel kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Kesimpulan

1. Kinerja pembangunan peternakan memiliki 5 tujuan, peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak dinilai cukup, usaha budidaya dinilai baik, status kesehatan hewan dinilai cukup, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH dinilai kurang, dan peningkatan pelayanan prima masyarakat peternakan juga cukup.

2. Kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan melalui program P2SDS berpotensi untuk dicapai, RP cukup, RPS cukup, dan AI juga cukup.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasi ke daerah dari aspek kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Jumat, 01 April 2011


PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP PRODUK OLAHAN DAGING SAPI
 DI KOTA SORONG

Consumer Preferency Level on Beef Product in Sorong

Lukas Yowel Sonbait1), Hanike Monim2) dan Djonly Woran3)
email:lukas.sonbait@gmail.com
1,2 dan 3) Staf  Pengajar Jurusan Produksi Ternak FPPK UNIPA

Abstract
This research aim to know storey level hobby of consumer to product on beef product. This research take place during 2 week, started from 26 December 2004 until the  8 January 2005 in Sorong. taken sampel cover 3 distric that is Canton Sorong East, Sorong and West Sorong. Method Research the taken on descriptive with technique interview and perception, while research subyek is consumer which consuming product on beef . Result of research indicate that consumer preferency more diseminating on product type on beef product fresh which on the market producer but group at earnings storey level. Besides, consumer in Sorong to have high hobby storey level to product of bakso because owning young cheap price and also accessed. Consumer have a notion that practical benefit represent especial reason of energy accept them in consuming of beef product. Result of research indicate that sausage product recommended to be produced in Sorong if its accessed easy and cheap price so that can be reached by all earnings faction.

Key words: Preferency, consumer, beef  product.


PENDAHULUAN

Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang berkualitas tinggi dan memiliki elastitas yang tinggi baik terhadap harga maupun pendapatan. Semakin tinggi pendapatan konsumen, semakin meningkat permintaan akan daging sapi    (Anonim, 2004). Kebutuhan akan protein hewani asal ternak sesuai dengan standar kebutuhan gizi nasional sebanyak 6,0 gram/kapita/hari, equivalen dengan mengkonsumsi daging 7,6 kg/kapita/tahun, telur 3,5 kg/kapita/tahun dan susu 4,6 kg/kapita/tahun. Kenyataan di atas membuktikan bahwa baru 75,3% dari target tersebut terpenuhi (Anonim, 2002). Dari data menyatakan bahwa konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat masih rendah sehingga perlu dilakukan upaya penyediaan produk pangan sebagai sumber protein hewani guna memenuhi standar kecukupan gizi.
Salah satu upaya adalah penyediaan protein hewani asal ternak baik sebagai bahan segar maupun maupun bahan olahan lainnya. Dalam penanganannya bahan segar banyak memiliki keterbatasan terutama masa simpannya yang singkat dan mudah rusak (perisible) sehingga memiliki keterbatasan terhadap ruang, tempat dan waktu untuk didistribusikan dari produsen ke konsumen dan berdampak pada turunnya fungsi ekonomis produk tersebut. Untuk mengatasi penurunan fungsi ekonomis produk daging, maka upaya yang dilakukan adalah melakukan tindakan pengolahan, dengan memperhatikan dua hal, yakni pengolahan tersebut tidak hanya memenuhi fungsi ekonomis produk dalam hal ini memperpanjang masa simpan, namun sekaligus mampu menjadikan produk bentukan baru yang sesuai dengan selera konsumen dan memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Sifat konsumen selalu dinamis dan cenderung alami sehingga produk yang dipilih bukan hanya produk yang terpaksa dikonsumsi melainkan produk yang benar-benar memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen, terjangkau dan selalu tersedia.
Menurut Saragih (2000) beberapa bentuk produk olahan yang diminati oleh konsumen dewasa ini adalah produk olahan yang memenuhi fungsi praktis dan efisien yakni, siap guna (ready for used), siap saji (ready to cook) dan siap konsumsi (ready to eat). Kecenderungan konsumen yang semakin modern, dengan aktifitas yang semakin meningkat mengakibatkan kebutuhan mereka akan produk pangan semakin praktis dan tidak memerlukan penanganan khusus. Produk olahan yang diminati konsumen adalah produk yang memiliki manfaat dan berkualitas tinggi, salah satunya produk olahan yang berasal dari ternak sapi. Produk yang diminati khususnya produk daging sapi diantaranya bakso, dendeng, sosis, korned, abon dan lain sebagainya. Aspek lain yang perlu diketahui dari produk olahan yang disediakan adalah aspek daya beli masyarakat. Mengingat produk asal ternak adalah produk yang bersifat elastis terhadap harga dan pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat permintaan konsumen sangat ditentukan oleh harga produk asal ternak dan pendapatan konsumen. Beberapa kendala yang terjadi saat ini adalah kurangnya minat, daya beli dan keterbatasan akses terhadap bahan baku dalam proses pengolahan serta rendahnya pengetahuan konsumen terhadap produk olahan daging (Saragih, 2000). Ilustrasi sederhana konsumen dengan tingkat penghasilan rendah, tidak banyak memberikan pilihan terhadap jumlah produk yang dikonsumsi begitupun sebaliknya konsumen dengan tingkat penghasilan tinggi cenderung memilih produk dengan mutu dan citarasa. Dengan demikian setiap konsumen yang mengkonsumsi produk olahan daging sapi memiliki preferensi yang berbeda satu dengan yang lainnya, sehingga perlu diupayakan usaha penyedian pasar produk olahan daging dengan harga terjangkau, memenuhi selera konsumen, bermanfaat, serta dapat diakses oleh konsumen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk olahan daging sapi dikota Sorong. Faedah yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat merekomendasikan produk olahan daging sapi yang layak dikembangkan, memiliki harga terjangkau serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, selain itu mampu membuka lapangan kerja, memberikan informasi bagi instansi terkait dan menjawab kebutuhan konsumen dimasa mendatang.

MATERI DAN METODE
Pengkajian ini dilakukan di kota Sorong, meliputi Distrik Sorong, Sorong Timur dan Sorong Barat selama kurun waktu 2 minggu (Desember – Januari 2005). Pengambilan sampel dilakukan secara purposive terhadap 90 orang yang memiliki tingkat pendapatan ≤Rp1.000.000, rendah, Rp. 1.000.000 – 3.000.000 sedang dan ≥ Rp.3.000.000 tinggi pengambilan contoh terhadap masing-masing distrik dilakukan secara purposive yang mewakili tiga pendapat konsumen sehingga jumlah yang diambil masing – masing 30 responden.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer dari hasil wawancara dengan berpedoman pada daftar pertanyaan dan melakukan  pengamatan langsung dilapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga terkait yang berhubungan dengan penelitian ini. Variabel yang diamati meliputi tingkat preferensi konsumen, frekuensi pembelian produk dan jenis produk yang disukai, serta variabel penunjang lainnya. Data yang diperoleh selanjutnya  dianalisis secara deskriptif guna memperoleh besaran rata-rata, persentase dan frekuensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN
 Preferensi Konsumen
            Preferensi konsumen sangat ditentukan oleh jenis dan harga produk yang ditawarkan. Jenis harga produk olahan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jenis dan Harga Produk Olahan Daging Sapi di Kota Sorong tahun 2004
Jenis Produk
Harga (Rp) Kaleng/Bungkus
Rata-rata Harga (Rp) (Kaleng/bungkus)
Abon
Dendeng
Bakso/Pentolan
Korned
Sosis
Gaga
  3.500 –  5.500
   6.000 – 10.000
   3.000 –  5.000
  7.500 – 13.500
10.000 – 15.000
  8.000 – 10.000
 4.500
 8.000
 4.000
10.000
12.000
  9.000
 Sumber: Hasil Olahan Data Primer Tahun, 2004
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa bakso memiliki harga yang murah (Rp. 4.000/bungkus), sedangkan sosis merupakan produk olahan dengan harga yang paling tinggi (Rp.12.500/bungkus). Menurut Wijaya (1992), jika harga barang semakin tinggi maka jumlah barang yang diminta akan semakin sedikit dan sebaliknya semakin rendah harga barang maka jumlah yang diminta akan semakin meningkat. Dengan demikian semakin tinggi harga produk olahan daging sapi maka jumlah yang diminta semakin sedikit, begitupun sebaliknya.

Tingkat Pendapatan dan Jumlah Produk yang Dibeli
            Keadaan responden menurut tingkat pendapatan dan jumlah produk olahan daging sapi yang dibeli dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Pendapatan dan Jumlah Produk Olahan Daging Sapi yang Dibeli Selama
              Sebulan di Kota Sorong Tahun 2004
Tingkat Pendapatan (Rp)
Jenis Produk
Jumlah Kaleng/Bungkus (Bln)
≤1.000.000
Abon
Dendeng
Bakso/Pentolan
Korned
Sosis
Gaga
13
2
26
10
-
1
Jumlah

52
1.000.000 – 3.000.000
Abon
Dendeng
Bakso/Pentolan
Korned
Sosis
Gaga
17
4
22
14
10
3
Jumlah

70
≥3.000.000
Abon
Dendeng
Bakso/Pentolan
Korned
Sosis
Gaga
21
4
23
21
18
10
Jumlah

97
                  Total
219,00
Sumber: Hasil Olahan Data Primer Tahun, 2004
Tabel 2 mengambarkan bahwa, semakin meningkat pendapatan masyarakat semakin meningkat jenis dan jumlah produk yang dibeli. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan tingkat penghasilan yang tinggi mempunyai kemampuan untuk membeli produk dengan maksud memperoleh kepuasan, demikian sebaliknya. Dari data tersebut disimpulkan bahwa produk olahan daging sapi sangat elastis terhadap harga dan pendapatan.
 Tempat Membeli Produk Olahan Daging Sapi di Kota Sorong
            Tempat membeli produk olahan di Kota Sorong tahun 2004, dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Tempat Membeli Produk Olahan Daging Sapi di Kota Sorong Tahun 2004
Jenis Produk
Tempat Membeli
Warung/Kios
Pasar
Toko
Swalayan
Abon
Dendeng
Bakso/Pentolan
Korned
Sosis
-
-
-
-
Sumber: Hasil Olahan Data Primer Tahun, 2004
            Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa bakso dan abon merupakan produk yang dapat ditemukan oleh konsumen di semua tempat penjualan sebaliknya produk olahan sosis hanya dapat ditemukan di toko dan swalayan. Hal ini menunjukkan bawa bakso dan abon merupakan produk yang muda diakses oleh masyarakat dibandingkan sosis.
 Frekuensi Pembelian
            Keadaan responden menurut frekuensi pembelian produk olahan daging sapi dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Frekuensi Pembelian Produk Olahan Daging Sapi di Kota Sorong Tahun 2004
Frekuensi Pembelian
Jumlah (Responden)
Nisbah (%)
1-2 kali sebulan
2-3 kali seminggu
1 kali seminggu
60
10
20
66,67
11,11
22,22
Jumlah
90
100,00
Sumber: Hasil Olahan Data Primer Tahun, 2004
            Data diatas terlihat bahwa frekuensi pembelian produk olahan daging sapi yang tertinggi adalah 1-2 bulan (66,67%) dan yang terendah adalah 2-3 dalam seminggu (11,11%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi pembelian masyarakat akan produk olahan masih relatif rendah (1-2 kali sebulan). Rendahnya frekuensi pembelian ini disebabkan oleh masih relatif mahalnya harga produk yang diikuti dengan melimpahnya barang subtitusi dengan harga yang murah. Pada kondisi ini menyebabkan masyarakat cenderung untuk memilih untuk mengolah daging sendiri.
 Jenis Produk yang disukai
            Responden menurut jenis produk olahan daging sapi yang disukai di Kota Sorong dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Jenis Produk Olahan Daging Sapi yang Disukai di Kota Sorong dalam Satu    Bulan
Jenis Produk
Jumlah Pembelian (Bln) (Kaleng/Bungkus)
Nisbah (%)
Jumlah Responden
Nisbah (%)
Rata-rata
Abon
Dendeng
Bakso/Pentolan
Korned
Sosis
Gaga
65
13
161
55
38
17
  18,62
    3,72
  46,13
  15,75
  10,88
    4,90
51
10
71
46
28
16
23,07
4,53
32,13
12,67
20,36
7,42
1,27
1,3
2,27
1,19
1,36
1,06
Jumlah
349
100,00
219
100,00
8,45
Sumber: Hasil Olahan Data Primer Tahun, 2004
            Berdasarkan tabel 5, terlihat bahwa bakso merupakan produk olahan daging sapi yang paling sering dibeli (46,13%) dan hanya 3,72% responden yang menyukai produk olahan daging sapi. Salah satu hal yang menyebabkan adalah harga bakso yang relatif murah, sehingga dapa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dari berbagai tingkat pendapatan. Bakso merupakan salah satu produk olahan daging sapi yang mudah diakses karena tersedia disemua tempat penjualan. Selanjutnya, sosis merupakan produk yang banyak pula disukai oleh konsumen walaupun memiliki harga tertinggi. Pada kondisi ini memungkinkan untuk dicari alternatif pengelolahan sosis secara lokal sehingga memberi peluang kepada semua lapisan masyarakat untuk mengkonsumsi sosis karena tersedia dengan harga yang relatif lebih murah dan selalu tersedia.

Alasan Menyukai Produk Olahan Daging Sapi
Keadaan responden menurut preferensi konsumen terhadap produk olahan daging sapi dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Keadaan Responden Menurut Preferensi Konsumen Terhaap Produk Olahan Daging Sapi di Kota Sorong Tahun 2004
Alasan Mengkonsumsi
Jumlah (Responden)
Nisbah (%)
Enak
Praktis
Mudah diperoleh
Kesehatan/Gizi
Murah
  75
  87
  47
  18
  39
  28,20
  32,70
  17,67
    6,77
  14,44
Jumlah
266
100,00
Sumber: Data Hasil Olahan Data Primer Tahun, 2004.
            Pada tabel 6, ada lima alasan konsumen menyukai produk olahan daging sapi. Manfaat praktis merupakan alasan yang sangat populer bagi masyarakat di kota Sorong dalam mengkonsumsi produk olahan. Selanjutnya diikuti masing-masing dengan alasan enak (28,20%), mudah diperoleh (17,67%), murah (14,66%) dan untuk tujuan kesehatan dan gizi menjadi alasan terakhir (6,77%). Adanya persentase yang tinggi terhadap manfaat praktis merupakan peluang pengembangan produk olahan daging sapi karena mendapat respon positif dari konsumen. Hal ini juga mempengaruhi aktifitas responden yang tinggi diluar rumah, sehingga membutuhkan produk yang memiliki manfaat praktis (ready to cook, ready to used and ready to eat).

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
            Preferensi konsumen di Kota Sorong menyebar pada jenis produk olahan daging sapi yang ditawarkan dan terkelompok pada tingkat pendapatan. Masyarakat memiliki preferensi yang tinggi terhadap bakso karena harganya lebih murah serta mudah diakses sedangkan sosis merupakan produk olahan yang memiliki harga termahal serta terbatas ketersediannya, namun dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka produk tersebut semakin disukai sehingga apabila selalu tersedia dengan harga yang murah sosis dapat diterima konsumen sepopuler bakso. Konsumen produk olahan daging sapi mengkonsumsi produk tersebut karena memiliki manfaat praktis. Diharapkan produk sosis dapat dikembangkan dalam skala usaha mikro.
SARAN
 Produk olahan daging sapi  direkomendasikan untuk diproduksi dalam bentuk siap saji (ready to eat).

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2002. Produksi dan Konsumsi Daging, Telur dan Susu 1996/2001. Direktur Jenderal Produksi Peternakan. Jakarta

Anonimuos, 2004. Agroindustri Berbasis Peternakan. http://64.233.161.164/Search/wx ej zw ye 3yuj: Agribisnis: deptan. Go.id / profil / grand / agroindustri. Htmt preferensi konsumen. Lukas download 19 Juli 2004

BPS, 2003. Kota Sorong Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kota Sorong. Sorong.

Kotler, P. 2000. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Edisi Pertama. Salemba Empat.
         Jakarta.

Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Edisi  Kedua.  Pustaka Wirausaha Muda,  Bandung

Wijaya, F. 1992. Pengantar Ekonomi Konsep Dasar dan Ekonomi Makro. BPFE.Yogyakarta

Yasyin, S. 1995. Kampus Pintar Bahasa Indonesia. Penerbit Amanah. Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar