Evaluasi Kinerja Pembangunan Peternakan di Provinsi Papua

EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN PETERNAKAN PROVINSI PAPUA

(EVALUATION OF HUSBANDRY MANAJEMEN DEVELOPMENT IN PAPUA PROVINCE)

Lukas Y. Sonbait

Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari

Pendahuluan

Provinsi Papua yang luasnya mencapai 317.062 km², memiliki luas perairan 228.000 km. Wilayah ini juga memiliki potensi lestari kayu komersial 540 juta m³, menghasilkan 1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Terdapat deposit 2,5 miliar bahan tambang emas dan batubara, hanya di kawasan konsesi PT Freeport. Memiliki kawasan hutan 42.224.840 ha, terdiri dari hutan lindung 10.619.090 ha, kawasan konservasi 9.704.300 ha, hutan produksi 10.585.210 ha, hutan produksi terbatas 2.051.110 ha, dan hutan konversi 9.262.130 ha. Luas hutan konversi ini dapat digarap menjadi lahan perkebunan, tanaman pangan, holtikultura, dan peternakan produktif. Luasan hutan konversi ini baru 2,36% yang dimanfaatkan, selebihnya masih berupa potensi yang tidak akan memberikan manfaat apa-apa bagi rakyat Papua kecuali diolah.

Meski kaya dengan sumberdaya alam, fakta menunjukkan dari jumlah rumah tangga yang mencapai 480.578, lebih dari 80 persen adalah rumah tangga miskin. Kelompok ini bermukim di kampung-kampung, pesisir pantai, pulau-pulau kecil, pegunungan dan pedalaman. Dapat dipastikan sebagian besar diantaranya menggantungkan hidup di sektor pertanian dalam arti luas yaitu tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan termasuk peternakan yang sudah lebih dari 4 dekade melakukan introduksi dan redistribusi berbagai jenis ternak, namun penampilan produksi belum menunjukkan trend yang mampu mendukung program swasembada, malahan sebaliknya kasus degenerasi pada beberapa jenis ternak makin dominan.

Oleh sebab itu, kinerja pembangunan peternakan perlu dievaluasi, meski disadari beberapa fungsi manajemen, aspek evaluasi dinilai sulit dilakukan karena beberapa alasan: bervariasinya program dan kegiatan yang dijalankan di provinsi maupun kabupaten/kota yang menjalankan fungsi peternakan, dan bervariasinya tolok ukur yang menjadi pedoman evaluasi. Meski demikian, evaluasi kinerja pembangunan peternakan menjadi sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi akurat bagi kepentingan perencanaan pembangunan peternakan berikutnya.

Beberapa tujuan yang dicapai dari hasil penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kinerja pembangunan peternakan yang mencakup 5 tujuan pembangunan peternakan yaitu kualitas dan kuantitas bibit ternak, budidaya, kesehatan hewan, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH, dan pelayanan prima masyarakat peternakan;

2. Mengetahui kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan yang meliputi program percepatan swasembada daging sapi (P2SDS), restrukturisasi perunggasan (RP), restrukturisasi industri persusuan (RPS), dan penanggulangan avian influenza (AI);

3. Mendapatkan umpan balik dari daerah terkait program pembangunan peternakan berdasarkan kebijakan pusat.

Metoda

Kegiatan evaluasi kinerja ini dilaksanakan pada dinas yang menjalankan fungsi peternakan baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada 4 (empat) kabupaten dan 1 (satu) kota yang dipilih, yaitu Kabupaten Jayapura, Keerom, Merauke, Biak Numfor, dan Kotamadya Jayapura. Data yang dihimpun adalah data sekunder dan wawancara dengan penanggung jawab kegiatan dan responden kunci. Analisis dilakukan secara tabulasi.

Hasil dan Pembahasan

1. Evaluasi kinerja tujuan pembangunan peternakan

Kinerja Tujuan Pembangunan Peternakan

Nilai Tujuan

Kesimpulan Tujuan

I. Peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak

46,01

Cukup

II. Pengembangan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak

64,28

Baik

III. Peningkatan dan mempertahankan status kesehatan hewan

54,24

Cukup

IV. Peningkatan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH

22,55

Kurang

V. Peningkatan pelayanan prima pada masyarakat peternakan

40,19

Cukup

Upaya perbaikan mutu genetik (regenerasi) ternak melalui program perbibitan (breeding centre) dan breeding farm belum menjadi fokus utama. Sebaliknya, budidaya ternak dengan introduksi dan redistribusi bibit tanpa sistem dan prosedur seleksi yang ketat masih menjadi fenomena klasik. Status kesehatan hewan mengalami peningkatan aktivitas sehubungan dengan berkembangnya isu beberapa penyakit hewan menular (zoonosis). Jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH belum menjadi prioritas utama, sedangkan pelayanan prima masyarakat peternakan belum optimal sebagai konsekuensi terbatasnya jumlah dan mutu pelayanan karena sumberdaya manusia peternakan yang terbatas.

2. Evaluasi kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan

Kinerja Kegiatan Utama Pembangunan Peternakan

Nilai

Kesimpulan

Percepatan pencapaian swasembada daging sapi (P2SDS)

62,76

Potensial Tercapai

Restrukturisasi perunggasan (RP)

50,42

Cukup

Restrukturisasi industri persusuan (RPS)

53,48

Cukup

Penanggulangan avian influenza (AI)

51,85

Cukup

P2SDS berpotensi untuk dicapai karena besarnya daya dukung pakan yang bersumber dari hijauan dan limbah pertanian/perkebunan, namun belum diikuti program penggemukan (fattening). RP mulai dibenahi melalui restrukturisasi perunggasan dengan penataan pemeliharaan unggas di pemukiman. RPS belum berkontribusi pada suplai susu segar, namun pengembangan ternak perah dan pengadaan konsentrat lokal sebagai pakan tambahan merupakan daya dukung yang potensial. Upaya pemutusan mata rantai berjangkitnya penyakit avian influenza (AI) terus menjadi prioritas dalam mengembangkan ternak unggas.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat

No

Aspek

Nilai

Kesimpulan

Faktor Penyebab (Rangking)***

Koordinasi

Peraturan

Kewenangan

Konsistensi

A

Kebijakan

5.97

Puas

2.13

2.38

2.45

2.93

B

Program dan kegiatan

6.27

Puas

2.10

2.15

2.05

2.80

C

Target dan sasaran

6.37

Puas

2.43

2.33

2.07

2.63

D

Kewenangan

4.90

Tidak Puas

.17

2.30

2.57

2.77

E

Pendanaan

5.17

Puas

2.03

1.77

1.93

2.53

F

Kelembagaan

5.75

Puas

1.90

2.15

1.70

2.35

Persepsi daerah bersumber dari pejabat dan petugas yang menjalankan fungsi peternakan di provinsi dan kabupaten/kota, pihak perguruan tinggi dan praktisi peternakan. Informasi ini memberikan penilaian terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasikan ke daerah. Terdapat jawaban yang bervariasi yaitu ada yang puas dan tidak puas. Dari keenam variabel yaitu kebijakan, program dan kegiatan, target dan sasaran, kewenangan, pendanaan, dan kelembagaan, ternyata variabel kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Kesimpulan

1. Kinerja pembangunan peternakan memiliki 5 tujuan, peningkatan kualitas dan kuantitas bibit ternak dinilai cukup, usaha budidaya dinilai baik, status kesehatan hewan dinilai cukup, jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH dinilai kurang, dan peningkatan pelayanan prima masyarakat peternakan juga cukup.

2. Kinerja kegiatan utama pembangunan peternakan melalui program P2SDS berpotensi untuk dicapai, RP cukup, RPS cukup, dan AI juga cukup.

3. Persepsi daerah terhadap kebijakan pembangunan peternakan pusat yang diimplementasi ke daerah dari aspek kewenangan dinilai tidak mengakomodir apa yang menjadi keinginan daerah.

Senin, 24 Agustus 2020

TANTANGAN, PELUANG DAN ARAHAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN DI KABUPATEN MANOKWARI SELATAN

 

TANTANGAN, PELUANG DAN ARAHAN PENGEMBANGAN PETERNAKAN

DI KABUPATEN MANOKWARI SELATAN

(Challenge, Opportunity and Direction of Livestock Development  in South Manokwari Regency)

 

Lukas Y. Sonbait

Fakultas Peternakan, Universitas Papua. Jl. Gunung Salju Amban Manokwari Papua Barat

email: lukas.sonbait@gmail.com

 

ABSTRACT

Manokwari District as one of the regency in West Papua Province by the central government is designated was given a status of special autonomy (OTSUS) by central government based on Decree No:22/2001. This province was directed as a “power” for development and empowering of indigenous community. The policy which included livestock development can be used as chance to realize people welfare. In regard to support the recommended policy made by the government, quick assessment on land resources and socio economic analysis was carried. Socio economic analysis was carried out using integrated approach strategy, which was included social cultural and institutional approach. The results show that the challenge of self sufficiency in livestock product in Papua Province was still far from the expectation. This indicated by the supply of livestock product to meet regional demand come from other provinces. Land resources are still available particularly in low land area which is potential for ruminant development. There are many approach need to be given attention in order to support the success of development program such as: i). The development in Papua must be focused on Papua ethnic group, and as ethnic leader (ondoafi). The involvement of Papua ethnic people is an important instrument for the development program base on local culture, ii). Recommended technology should be based on local technology which already being applied by local community and iii). Cross sector program approach should be based on dominant regional program.

Key Words: Livestock Development, Land Resources, Institution

 

PENDAHULUAN

Kabupaten Manokwari Selatan merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Manokwari selatan berdasarkan UU RI nomor 23 tahun 2012. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.812.44 km2 yang terdiri atas 6 distrik administratif, dengan jumlah penduduk mencapai 21 907 jiwa (Manokwari selatan Dalam Angka, 2016). Pemerintah pusat telah menetapkan wilayah di provinsi Papua Barat sebagai wilayah dengan status Otonomi Khusus (OTSUS) sesuai amanat UU 21/2001, yang diarahkan sebagai sebuah ”Energi” untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Papua, terutama bagi orang asli, tetapi saat ini masih belum optimal dalam implementasinya. Kabijakan tersebut perlu dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi orang-orang  asli Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan potensi unggulan sektoral dalam  dukung PDRB provinsi Papua Barat,  Kebutuhan konsumsi daging di Provinsi Papua Barat dipenuhi dari produksi sendiri dan pasokan daerah lain. Kabupaten Manokwari dan Sorong, Fakfak dan Kota Sorong merupakan penyuplai daging sapi di wilayah Papua Barat.   Terdapat kendala pada aspek produksi dan produktivitas ternak dalam penyediaan daging di Papua Barat khususnya daging sapi, yaitu jumlah kepemilikan ternak yang tidak ekonomis dan sistem pemeliharaan ternak dengan subsistem. Produksi daging di Provinsi  Barat terbesar adalah daging sapi, diikuti daging  babi. Apabila harga daging sapi naik maka harga daging babi ikut naik. Dengan demikian adanya kenaikan harga daging babi akan menyebabkan pilihan konsumsi daging sapi menurun. Produksi daging babi dan sapi di Papua Barat tahun 2014 berkontribusi masing-masing sebesar 0,51 persen dan 0,49 persen terhadap produksi daging babi dan sapi nasional. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan arahan pengembangan peternakan di Kabupaten Manokwari Selatan, yang dianalisis berdasarkan potensi sumberdaya lahan dan aspek sosial dan kelembagaan dalam mendukung rekomendasi pembangunan peternakan dan pertanian secara umum


MATERI DAN METODE


Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan yakni analisis data sekunder  dan verifikasi lapangan. Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber institusi terkait (literatur, laporan), termasuk potensi sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia setempat sebagai dasar analisis. Verifikasi dan pengumpulan data di lapangan dalam rekomendasi arah kebijakan beradasarkan kondisi sosial masyarakat melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) (Chambers, 1993), di lokasi potensial peternakan dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap tokoh masyarakat, petani, dan peternak. Metode pengumpulan data dilakukan melalui “wawancara secara mendalam (indenth interview) dan survey langsung peternak maupun PPL. Wawancara dilakukan terhadap petugas penyuluh lapangan serta peternak baik peternak lokal (suku asli Papua) maupun masyarakat pendatang (transmigrasi). Jawaban yang diberikan responden dicatat dan dinilai secara deskriptif. Proses analisis dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data.


 

HASIL DAN PEMBASAN


Komoditi peternakan di Manokwari Selatan di dominasi dengan budidaya ternak babi yang mencapai 3.946 ekor di tahun 2015. Kemudian diikuti dengan komoditi sapi yang mencapai 2.318 ekor di tahun 2015.  Produksi ternak babi tahun 2015 sebanyak 3.946 ekor, sedangkan terna sapi produksinya mencapai 2.318 ekor, dan ternak babi produksinya mencapai 556 ekor. Proporsi babi di Manokwari Selatan melebihi 50 persen produksi ternak di Manokwari Selatan. Wilayah konsentrasi peternakan Manokwari Selatan ada di distrik Ransiki, Oransbari, dan Momi Waren. Untuk jenis ternak babi, paling banyak di budidayakan di distrik Ransiki. Babi juga banyak diternakan di wilayah Oransbari sebanyak 760 ekor dan Dataran Isim sebanyak 762 ekor. Babi banyak dibiakan oleh masyarakat lokal papua, karena babi banyak digunakan untuk acara-acara adat termasuk untuk digunakan sebagai mas kawin. Sedangkan ternak sapi banyak dibiakan oleh warga Oransbari non-papua. Termasuk ternak kambing yang banyak dibiakan oleh warga Oransbari non-papua.


Tabel 1. Jumlah Ternak Menurut Distrik di Kabupaten Manokwari Selatan

No

Distrik

Sapi

Kambing

Babi

Itik

Entog

Ayam Ras Petelur

Ayam Buras

1.

Ransiki

356

110

1.272

0

250

0

2.450

2.

Oransbari

1.645

230

760

0

1.213

3000

5.213

3.

Neney

30

27

350

0

27

0

345

4.

Dataran Isim

102

19

762

0

46

0

823

5.

Momi Waren

150

150

457

0

75

0

1.125

6.

Tahota

35

20

345

0

35

0

750

Sumber. Manokwari Selatan Dalam Angka Tahun 2016

Sentra budidaya peternakan hewan unggas di kabupaten Manokwari Selatan berpusat di distrik Oransbari, mula dari peternakan itik, entog, ayam ras petelur, dan ayam kampung. Untuk jenis unggas entog dan ayam kampung selain di distrik Oransbari juga banyak dikembangkan di distrik Ransiki (2.450 ekor). Untuk jenis ternak unggas lainnya seperti itik tidak ada di distrik lain di Manokwari Selatan. Peternakan yang banyak dikembangkan secara merata di Manokwari Selatan adalah jenis unggas entog dan ayam kampung. Dimana dua jenis unggas ini dapat ditemukan diseluruh distrik Manokwari Selatan. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam beternak entog dan ayam kampung. Sedangkan itik dan ayam petelur hanya terpusat di Oransbari karena membutuhkan pemeliharaan khusus. Jumlah ternak unggas paling banyak produksinya adalah jenis Ayam Kampung yang mencapai 10.706 ekor sepanjang tahun 2015. Secara umum jenis-jenis ternak yang yang dibudidayakan oleh masyarakat pada umumnya  masih dilakukan secara tradisional maupun semi tradisional pada masyarakat transmigrasi. Tujuan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Untuk jenis-jenis ternak yang diusahakan adalah sapi potong (Bos sondaicus,) ayam kampung (Gallus domesticus), Entog (Cairina) dan babi lokal Papua (Sus Papuaensis) serta sebagai sumber protein hewani dan sejauh ini belum diarahkan pada skala yang lebih besar karena akses pasar yang belum tersedia secara kontinyu. Ternak ini merupakan ternak utama yang diusahakan masyarakat, khusus ternak sapi Bali walaupun baru di introduksi sangat berperan dalam peningkatan pendapatan keluarga, karena dapat digunakan sebagai mas kawin pengganti ternak babi maupun sebagai hewan peliharaan dengan harga jual yang menjanjikan. 


Potensi Padang Pengembalaan (Ranch)

                Potensi padang pengembalaan di kabupaten Manokwari Selatan, memiliki potensi untuk dikembangkan yang tersebar dibeberapa distrik. Berikut disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Potensi Padang Pengembalaan di Kabupaten Manokwari Selatan

No

Potensi Wilayah

Luasan

(Ha)

Lokasi

Distrik

1.

Mendukung Pengembangan Ternak Sapi :

 

a.       Hijauan sumber      pakan ternak

 

1200

Momiwaren, Dataran Isim, Nenei

b.       Lahan pertanian mendukung peternakan

15

Oransbari, Momiwaren, Tahota

c.       Lahan tidur yang berpotensi sebagai sumber pakan ternak

20

Nenei, dataran Isim, Ransiki

2

Mendukung Pengembangan Ternak Babi

150 Ha

Semua Distrik di Kabupaten Manokwari Selatan

3

Mendukung Pengembangan Ternak Unggas

 5 Ha

Oransbari, Ransiki, Tahota, Dataran Isim, Momiwaren

Gambar 

















Potensi Padang Pengembalaan  di Kabupaten  Manokwari Selatan

Dari hasil pengamatan dilapangan  jenis pakan yang dikonsumsi oleh ternak sapi bali dipadang penggembalaan adalah rumput potong seperti rumput Gajah (Penisetum purpureum), lamtoro (Leucaena glauca), sedangkan jenis pakan yang sering di konsumsi rumput potong adalah: Rumput gajah (Penisetum purpureum) dan rumput raja (King grass). Hijauan leguminosa yang sering dikonsumsi adalah : Lamtoro (leucaena glauca) dan Kolonjo (Brachiaria mutica), sedangkan rumput lapangan sudah tersedia di lokasi. Berdasarkan pengamatan di 2 Distrik yaitu dataran Isim dan Momiwaren hijauan pakan ternak sangat tersedia, namun belum dikembangkn untuk pengembangan peternakan skala industri. Dengan melihat potensi yang ada , sudah saatnya daerah ini dikembangkan  menjadi wilayah   pengembangan ternak untuk mendukung  kesejahteraan masyarakat peternak.


Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat Terhadap Komoditi Peternakan.

Dari hasil pengamatan dan wawancara pada 2 Distrik, maka perlu digaris bawahi yang harus diselesaikan pada komoditi peternakan adalah perlu adanya pelatihan maupun magang kepada petani peternak sebelum  pengadaan berbagai jenis ternak, petugas penyuluh harus ditingkatkan dan harus disebarkan merata di masing-masing Distrik untuk mendukung pelayanan kepada masyarakat, Sarana transportasi darat dalam hal ini akses jalan harus dibenahi, sehingga memudahkan dalam pelayanan maupun proses penjualan hasil ternak, Pengadaan bibit ternak unggul serta penyiapan kandang ternak serta penyediaan hijauan makanan ternak  khususnya bagi ternak sapi dan kambing, Perlu dilakukan sosialisasi mengenai manajemen pemeliharaan ternak kepada distrik maupun kampung yang masyarakatnya belum pernah memelihara ternak, Pemerintah bersedia membeli produk peternakan yang di kelola masyarakat (koperasi) serta Perlu dilakukan pelatihan mengenai pengolahan hasil ternak dengan menggunakan teknologi sederhana. Selain masalah diatas, program gaduhan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum membuahkan hasil yang baik karena pengetahuan masyarakat yang  rendah dalam aspek pemeliharaan ternak, untuk itu diperlukan  upaya yang lebih nyata terkait dengan kegiatan sosialisasi maupun tersedianya petugas lapangan (PPL)/pendamping. Selain itu aturan dalam pembagian kelompok peternak belum baik, hal ini berdampak pada pembagian hasil dari komoditi ternak. Selain faktor diatas, menurut Kuntowijoyo (2006), faktor budaya sangat menghambat perubahan masyarakat yang masih menganut budaya feodal, masih ada masyarakat yang takut terlibat dalam program pemerintah karena tidak mampu bersaing dengan lainnya, sehingga program pemerintah yang turun baik melalui dana pusat, maupun daerah harus diterima merata dengan tidak melihat status sosial. 


Pola Produksi, Konsumsi, dan Pemasaran Hasil Ternak

Pola-pola produksi, konsumsi dan distribusi komoditi diwilayah pengamatan relatif sangat terbatas. Keterbatasan tersebut disebabkan karena akses perhubungan antara lokasi satu ke lokasi lainnya cukup sulit. Hal ini merupakan faktor penghambat utama. Selain itu biaya transportasi yang tinggi serta akses yang terbatas menambah permasalahan dalam pola konsumsi dan pemasaran hasil ternak. Dari segi usaha produksi dan konsumsi sebagian masyarakat setempat hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga, sementara pola produksi serta konsumsi yang mengarah pada komersialisasi belum nampak pada aktivitas peternakan bahkan pertanian secara umum. Persentase pola distribusi hasil peternakan sebagian besar hanya dilakukan didaerah setempat, sementara sebagian kecil dari produksi yang dihasilkan didistribusikan keluar daerah kampung. Jenis komoditi peternakan yang distribusinya dapat keluar dari kampung adalah jenis ternak babi dalam jumlah terbatas. Pola distribusi hasil peternakan yang dibawah ke daerah lain menggunakan kendaraan roda empat. Dari informasi yang diperoleh bahwa pola distribusi hasil peternakan dilakukan dalam dua cara yaitu dengan dijual didalam daerah kampung atau dijual ke kampung lain.

 

Pandangan Masyarakat  Tentang Pembangunan Di Bidang Peternakan Ditinjau Dari Hukum Adat.

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, pengembangan sub sektor peternakan sampai sejauh ini cukup baik terutama untuk masyarakat non lokal, namun bagi masyarakat lokal masih berjalan lambat. Salah satu penyebabnya adalah letak geografis yang berbukit, serta sarana  jalan yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan tertentu serta belum didukung oleh sarana dan prasarana produksi peternakan. Sehingga pengolahan hasil dan pemasaranpun masih sangat terbatas untuk konsumtif maupun antar sesama masyarakat yang mendiami Manokwari selatan khususnya masyarakat Arfak. Untuk itu sudah saatnya pemerintah daerah melakukan tindakan pengadaan dan penyebaran segala sarana pendukung pengembangan ternak baik berupa pengadaan bibit ternak, pelatihan dan magang bagi peternak lokal, penyediaan tenaga penyuluh yang memiliki skil, mengembangkan industri-industri peternakan rakyat secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat asli yang mendiami beberapa wilayah di Distrik Dataran Isim dan Momi Waren, Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa terdapat keinginan masyarakat untuk memelihara ternak ruminansia seperti sapi maupun Babi. Hal yang menjadi kendala utama adalah masalah modal untuk membeli hewan. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa beternak menjadi prioritas selain komoditi pertanian. Ini terlihat dari sifat masyarakat yang hanya berharap pada pemerintah untuk mendapatkan bantuan hewan daripada membeli sendiri dengan uang sendiri. Selain itu juga akses transportasi dan pemasaran menjadi kendala utama dalam peningkatan populasi maupun produktivitas ternak. Menurut Widiati dkk, 2002, rendahnya perkembangan ternak disebabkan karena petani dihadapkan pada berbagai kendala yaitu sempitnya lahan untuk penyediaan pakan ternak (khusus di Pulau Jawa), modal rendah, dan kurangnya kemampuan petani dalam mengelola usahanya.  Berdasarkan hal tersebut, perlua adanya perhatian serius dari pemerintah dalam mendukung produktifitas peternak melaui pembinaan, pemberian modal berupa bibit maupun alat sapronak dan pendampingan secara intensif khusus bagi peternak  lokal. Selain itu dari pihak-pihak terkait yang diharapkan dapat memberikan modal pengetahuan serta pemahaman bagi masyarakat dalam melakukan teknik budidaya ternak, selain itu juga perlu melibatkan toko adat dalam pengembangan peternakan berbasis kearifan lokal, karena tokoh adat merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan status lahan, yang didukung dengan pendekatan teknologi yang sudah dikuasai masyarakat. Selain itu juga, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan budidaya beserta aspek kewirausahaan dan bisnis yang  berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Sodiq, 2014). 

KESIMPULAN

1.    Pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan dalam rangka pengembangan sub sektor peternakan dituntut berperan pengembangan peternakan di Kabupaten Manokwari Selatan.
2.      Berdasarkan status swasembada pangan sub-ektor peternakan, permintaan produk ternak yang tinggi masih merupakan tantangan besar. Hal tersebut ditunjukkan masih tingginya ketergantungan masuknya produk ternak dari daerah lain, yang sekaligus peluang dalam pengembangan kedepan.
3.    Daya dukung lahan masih cukup luas (lahan potensial tersedia) untuk pengembangan peternakan. Potensi lahan kawasan dataran rendah memiliki prospek paling besar dalam pengembangan ternak ruminansia.
4.       Aspek kelembagaan merupakan instrumen kunci yang harus dilibatkan dalam pengembangan peternakan berbasis kearifan lokal.
5.     Partisipasi masyarakat terhadap program peternakan masih rendah, belum sinergi antara pemerintah dan masyarakat serta masih kurangnya petugas lapangan dan pelatihan-pelatihan bagi peternak untuk mengembangkan usahanya.

 

DAFTAR PUSTAKA

BPS Kabupaten Manokwari Selatan 2016. Manokwari Selatan Dalam Angka. Manokwari.

Chambers, R. 1993. Rapid Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. IDS Discussion Paper 311. IDS, Brighton.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Papua Barat, 2014. Laporan Tahunan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Papua Barat. Manokwari.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. 2001. Rencana Strategis dan Program Kerja Pembangunan Produksi Peternakan Tahun 2001 – 2004. Departemen Pertanian, Jakarta.

Isbandi. 2004. Pengaruh Dinamika Kelompok Terhadap Penerapan Zooteknik Oleh Kelompok Petani-Ternak Sapi Potong. Jurnal Pengembangan Penyuluhan Pertanian Bidang Ilmu-ilmu Peternakan.

Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Rogers, Everett M. 1977. Communication and Development: Critical Perspectivies, Sage Publication Ltd., Baverly Hils.

Sodiq, A. 2014. Entrepreneurship melalui Sains dan Pembelajaran Sains dalam Mengoptimalkan Sumber Daya Manusia: Lessons Learnt Implementasi di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Makalah Utama pada Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship, Pendiikan Biologi IKIP PGRI Semarang, Juni 2014. Prosiding Semnas Entrepreneurship, Hal.1-21.

Widiati, R., K. A. Santosa, S. Widodo dan Masyhuri.  2002.  Optimalisasi alokasi sumberdaya rumahtangga tani melalui integrasi usahatani tanaman dan sapi potong di Gunung Kidul Yogyakarta. Agro Ekonomi. Vol IX (2) : 65-79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar