TANTANGAN, PELUANG DAN ARAHAN
PENGEMBANGAN PETERNAKAN
DI KABUPATEN MANOKWARI SELATAN
(Challenge,
Opportunity and Direction of Livestock Development in South Manokwari Regency)
Lukas Y. Sonbait
Fakultas
Peternakan, Universitas Papua. Jl. Gunung Salju Amban Manokwari Papua Barat
email:
lukas.sonbait@gmail.com
ABSTRACT
Manokwari District
as one of the regency in West Papua Province by the central
government is designated was given a status of special autonomy
(OTSUS) by central government based on Decree No:22/2001. This province was
directed as a “power” for development and empowering of indigenous community.
The policy which included livestock development can be used as chance to
realize people welfare. In regard to support the recommended policy made by the
government, quick assessment on land resources and socio economic analysis was
carried. Socio economic analysis was carried out using integrated approach
strategy, which was included social cultural and institutional approach. The
results show that the challenge of self sufficiency in livestock product in
Papua Province was still far from the expectation. This indicated by the supply
of livestock product to meet regional demand come from other provinces. Land
resources are still available particularly in low land area which is potential
for ruminant development. There are many approach need to be given attention in
order to support the success of development program such as: i). The
development in Papua must be focused on Papua ethnic group, and as ethnic
leader (ondoafi). The involvement of Papua ethnic people is an important
instrument for the development program base on local culture, ii). Recommended
technology should be based on local technology which already being applied by
local community and iii). Cross sector program approach should be based on
dominant regional program.
Key
Words: Livestock Development, Land Resources, Institution
PENDAHULUAN
Kabupaten Manokwari
Selatan merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Manokwari selatan
berdasarkan UU RI nomor 23 tahun 2012. Kabupaten ini memiliki luas wilayah
2.812.44 km2 yang terdiri atas 6 distrik administratif, dengan
jumlah penduduk mencapai 21 907 jiwa (Manokwari selatan Dalam Angka, 2016).
Pemerintah pusat telah menetapkan wilayah di provinsi Papua Barat sebagai
wilayah dengan status Otonomi Khusus (OTSUS) sesuai amanat UU 21/2001, yang
diarahkan sebagai sebuah ”Energi” untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat
Papua, terutama bagi orang asli, tetapi saat ini masih belum optimal dalam
implementasinya. Kabijakan tersebut perlu dimanfaatkan sebagai suatu kesempatan
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi orang-orang
asli Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan potensi unggulan sektoral dalam dukung PDRB provinsi Papua Barat, Kebutuhan
konsumsi daging di Provinsi Papua Barat dipenuhi dari produksi sendiri dan
pasokan daerah lain. Kabupaten Manokwari dan Sorong, Fakfak dan Kota Sorong
merupakan penyuplai daging sapi di wilayah Papua Barat. Terdapat kendala pada aspek produksi dan
produktivitas ternak dalam penyediaan daging di Papua Barat khususnya daging
sapi, yaitu jumlah kepemilikan ternak yang tidak ekonomis dan sistem
pemeliharaan ternak dengan subsistem. Produksi daging di Provinsi Barat terbesar adalah daging sapi, diikuti
daging babi. Apabila harga daging sapi
naik maka harga daging babi ikut naik. Dengan demikian adanya kenaikan harga
daging babi akan menyebabkan pilihan konsumsi daging sapi menurun. Produksi
daging babi dan sapi di Papua Barat tahun 2014 berkontribusi masing-masing
sebesar 0,51 persen dan 0,49 persen terhadap produksi daging babi dan sapi
nasional. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan arahan pengembangan
peternakan di Kabupaten Manokwari Selatan, yang dianalisis berdasarkan potensi
sumberdaya lahan dan aspek sosial dan kelembagaan dalam mendukung rekomendasi
pembangunan peternakan dan pertanian secara umum
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan melalui dua pendekatan yakni analisis data
sekunder dan verifikasi lapangan. Data
sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber institusi terkait (literatur,
laporan), termasuk potensi sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia setempat
sebagai dasar analisis. Verifikasi dan pengumpulan data di lapangan dalam
rekomendasi arah kebijakan beradasarkan kondisi sosial masyarakat melalui
pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) (Chambers, 1993), di lokasi
potensial peternakan dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap
tokoh masyarakat, petani, dan peternak. Metode pengumpulan data dilakukan
melalui “wawancara secara mendalam (indenth
interview) dan survey langsung peternak maupun PPL. Wawancara dilakukan
terhadap petugas penyuluh lapangan serta peternak baik peternak lokal (suku
asli Papua) maupun masyarakat pendatang (transmigrasi). Jawaban yang diberikan
responden dicatat dan dinilai secara deskriptif. Proses analisis dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data.
HASIL DAN PEMBASAN
Komoditi peternakan di
Manokwari Selatan di dominasi dengan budidaya ternak babi yang mencapai 3.946
ekor di tahun 2015. Kemudian diikuti dengan komoditi sapi yang mencapai 2.318
ekor di tahun 2015. Produksi ternak babi
tahun 2015 sebanyak 3.946 ekor, sedangkan terna sapi produksinya mencapai 2.318
ekor, dan ternak babi produksinya mencapai 556 ekor. Proporsi babi di Manokwari
Selatan melebihi 50 persen produksi ternak di Manokwari Selatan. Wilayah
konsentrasi peternakan Manokwari Selatan ada di distrik Ransiki, Oransbari, dan
Momi Waren. Untuk jenis ternak babi, paling banyak di budidayakan di distrik
Ransiki. Babi juga banyak diternakan di wilayah Oransbari sebanyak 760 ekor dan
Dataran Isim sebanyak 762 ekor. Babi banyak dibiakan oleh masyarakat lokal
papua, karena babi banyak digunakan untuk acara-acara adat termasuk untuk
digunakan sebagai mas kawin. Sedangkan ternak sapi banyak dibiakan oleh warga
Oransbari non-papua. Termasuk ternak kambing yang banyak dibiakan oleh warga
Oransbari non-papua.
Tabel 1. Jumlah Ternak Menurut Distrik di Kabupaten Manokwari
Selatan
No |
Distrik |
Sapi |
Kambing |
Babi |
Itik |
Entog |
Ayam Ras Petelur |
Ayam Buras |
1. |
Ransiki |
356 |
110 |
1.272 |
0 |
250 |
0 |
2.450 |
2. |
Oransbari |
1.645 |
230 |
760 |
0 |
1.213 |
3000 |
5.213 |
3. |
Neney |
30 |
27 |
350 |
0 |
27 |
0 |
345 |
4. |
Dataran Isim |
102 |
19 |
762 |
0 |
46 |
0 |
823 |
5. |
Momi Waren |
150 |
150 |
457 |
0 |
75 |
0 |
1.125 |
6. |
Tahota |
35 |
20 |
345 |
0 |
35 |
0 |
750 |
Sumber. Manokwari Selatan Dalam Angka Tahun 2016
Sentra
budidaya peternakan hewan unggas di kabupaten Manokwari Selatan berpusat di
distrik Oransbari, mula dari peternakan itik, entog, ayam ras petelur, dan ayam
kampung. Untuk jenis unggas entog dan ayam kampung selain di distrik Oransbari
juga banyak dikembangkan di distrik Ransiki (2.450 ekor). Untuk jenis ternak
unggas lainnya seperti itik tidak ada di distrik lain di Manokwari Selatan.
Peternakan yang banyak dikembangkan secara merata di Manokwari Selatan adalah
jenis unggas entog dan ayam kampung. Dimana dua jenis unggas ini dapat ditemukan
diseluruh distrik Manokwari Selatan. Hal ini dikarenakan kemudahan dalam beternak
entog dan ayam kampung. Sedangkan itik dan ayam petelur hanya terpusat di
Oransbari karena membutuhkan pemeliharaan khusus. Jumlah ternak unggas paling
banyak produksinya adalah jenis Ayam Kampung yang mencapai 10.706 ekor
sepanjang tahun 2015. Secara umum jenis-jenis
ternak yang yang dibudidayakan oleh masyarakat pada umumnya masih dilakukan secara tradisional maupun semi tradisional pada
masyarakat transmigrasi. Tujuan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Untuk jenis-jenis ternak yang diusahakan
adalah sapi potong (Bos sondaicus,)
ayam kampung (Gallus domesticus),
Entog (Cairina) dan babi lokal Papua (Sus
Papuaensis) serta sebagai sumber protein hewani dan sejauh ini belum
diarahkan pada skala yang lebih besar karena akses pasar yang belum tersedia
secara kontinyu. Ternak ini merupakan ternak utama yang diusahakan masyarakat,
khusus ternak sapi Bali walaupun baru di introduksi sangat berperan dalam
peningkatan pendapatan keluarga, karena dapat digunakan sebagai mas kawin
pengganti ternak babi maupun sebagai hewan peliharaan dengan harga jual yang
menjanjikan.
Potensi Padang
Pengembalaan (Ranch)
Potensi padang pengembalaan di
kabupaten Manokwari Selatan, memiliki potensi untuk dikembangkan yang tersebar
dibeberapa distrik. Berikut disajikan dalam tabel 2.
Tabel 2. Potensi Padang Pengembalaan di Kabupaten Manokwari Selatan
No |
Potensi Wilayah |
Luasan (Ha) |
Lokasi |
Distrik |
|||
1. |
Mendukung
Pengembangan Ternak Sapi : |
||
|
a.
Hijauan
sumber pakan ternak |
1200 |
Momiwaren, Dataran
Isim, Nenei |
b.
Lahan
pertanian mendukung peternakan |
15 |
Oransbari,
Momiwaren, Tahota |
|
c.
Lahan
tidur yang berpotensi sebagai sumber pakan ternak |
20 |
Nenei, dataran
Isim, Ransiki |
|
2 |
Mendukung Pengembangan Ternak Babi |
150
Ha |
Semua Distrik di
Kabupaten Manokwari Selatan |
3 |
Mendukung
Pengembangan Ternak Unggas |
5 Ha |
Oransbari,
Ransiki, Tahota, Dataran Isim, Momiwaren |
Gambar
Potensi Padang Pengembalaan di Kabupaten Manokwari Selatan
Dari
hasil pengamatan dilapangan jenis pakan
yang dikonsumsi oleh ternak sapi bali dipadang penggembalaan adalah rumput
potong seperti rumput Gajah (Penisetum
purpureum), lamtoro (Leucaena glauca),
sedangkan jenis pakan yang sering di konsumsi rumput potong adalah: Rumput
gajah (Penisetum purpureum) dan
rumput raja (King grass). Hijauan
leguminosa yang sering dikonsumsi adalah : Lamtoro (leucaena glauca) dan Kolonjo (Brachiaria
mutica), sedangkan rumput lapangan sudah tersedia di lokasi. Berdasarkan
pengamatan di 2 Distrik yaitu dataran Isim dan Momiwaren hijauan pakan ternak
sangat tersedia, namun belum dikembangkn untuk pengembangan peternakan skala
industri. Dengan melihat potensi yang ada ,
sudah saatnya daerah ini dikembangkan
menjadi wilayah pengembangan
ternak untuk mendukung kesejahteraan
masyarakat peternak.
Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat Terhadap Komoditi Peternakan.
Dari hasil pengamatan dan wawancara pada 2 Distrik, maka perlu digaris bawahi yang harus diselesaikan pada komoditi peternakan adalah perlu adanya pelatihan maupun magang kepada petani peternak sebelum pengadaan berbagai jenis ternak, petugas penyuluh harus ditingkatkan dan harus disebarkan merata di masing-masing Distrik untuk mendukung pelayanan kepada masyarakat, Sarana transportasi darat dalam hal ini akses jalan harus dibenahi, sehingga memudahkan dalam pelayanan maupun proses penjualan hasil ternak, Pengadaan bibit ternak unggul serta penyiapan kandang ternak serta penyediaan hijauan makanan ternak khususnya bagi ternak sapi dan kambing, Perlu dilakukan sosialisasi mengenai manajemen pemeliharaan ternak kepada distrik maupun kampung yang masyarakatnya belum pernah memelihara ternak, Pemerintah bersedia membeli produk peternakan yang di kelola masyarakat (koperasi) serta Perlu dilakukan pelatihan mengenai pengolahan hasil ternak dengan menggunakan teknologi sederhana. Selain masalah diatas, program gaduhan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum membuahkan hasil yang baik karena pengetahuan masyarakat yang rendah dalam aspek pemeliharaan ternak, untuk itu diperlukan upaya yang lebih nyata terkait dengan kegiatan sosialisasi maupun tersedianya petugas lapangan (PPL)/pendamping. Selain itu aturan dalam pembagian kelompok peternak belum baik, hal ini berdampak pada pembagian hasil dari komoditi ternak. Selain faktor diatas, menurut Kuntowijoyo (2006), faktor budaya sangat menghambat perubahan masyarakat yang masih menganut budaya feodal, masih ada masyarakat yang takut terlibat dalam program pemerintah karena tidak mampu bersaing dengan lainnya, sehingga program pemerintah yang turun baik melalui dana pusat, maupun daerah harus diterima merata dengan tidak melihat status sosial.
Pola Produksi,
Konsumsi, dan Pemasaran Hasil Ternak
Pola-pola
produksi, konsumsi dan distribusi komoditi diwilayah pengamatan relatif sangat
terbatas. Keterbatasan tersebut disebabkan karena akses perhubungan antara lokasi satu ke
lokasi lainnya cukup sulit. Hal ini merupakan faktor
penghambat utama.
Selain itu biaya transportasi yang tinggi serta akses yang terbatas menambah
permasalahan dalam pola konsumsi dan pemasaran hasil ternak. Dari
segi usaha produksi dan konsumsi sebagian masyarakat setempat hanya
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga, sementara pola produksi serta
konsumsi yang mengarah pada komersialisasi belum nampak pada aktivitas peternakan bahkan pertanian secara
umum. Persentase pola distribusi hasil peternakan sebagian
besar hanya dilakukan didaerah setempat, sementara sebagian kecil dari produksi
yang dihasilkan didistribusikan keluar daerah kampung. Jenis komoditi peternakan yang
distribusinya dapat keluar dari kampung adalah jenis ternak babi dalam jumlah terbatas. Pola
distribusi hasil peternakan yang dibawah ke daerah lain menggunakan
kendaraan roda empat. Dari informasi yang diperoleh bahwa pola distribusi
hasil peternakan
dilakukan dalam dua cara yaitu dengan dijual didalam daerah kampung atau dijual
ke kampung lain.
Pandangan
Masyarakat Tentang Pembangunan Di Bidang
Peternakan Ditinjau Dari Hukum Adat.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, pengembangan sub sektor peternakan sampai sejauh ini cukup baik terutama untuk masyarakat non lokal, namun bagi masyarakat lokal masih berjalan lambat. Salah satu penyebabnya adalah letak geografis yang berbukit, serta sarana jalan yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan tertentu serta belum didukung oleh sarana dan prasarana produksi peternakan. Sehingga pengolahan hasil dan pemasaranpun masih sangat terbatas untuk konsumtif maupun antar sesama masyarakat yang mendiami Manokwari selatan khususnya masyarakat Arfak. Untuk itu sudah saatnya pemerintah daerah melakukan tindakan pengadaan dan penyebaran segala sarana pendukung pengembangan ternak baik berupa pengadaan bibit ternak, pelatihan dan magang bagi peternak lokal, penyediaan tenaga penyuluh yang memiliki skil, mengembangkan industri-industri peternakan rakyat secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat asli yang mendiami beberapa wilayah di Distrik Dataran Isim dan Momi Waren, Hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa terdapat keinginan masyarakat untuk memelihara ternak ruminansia seperti sapi maupun Babi. Hal yang menjadi kendala utama adalah masalah modal untuk membeli hewan. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa beternak menjadi prioritas selain komoditi pertanian. Ini terlihat dari sifat masyarakat yang hanya berharap pada pemerintah untuk mendapatkan bantuan hewan daripada membeli sendiri dengan uang sendiri. Selain itu juga akses transportasi dan pemasaran menjadi kendala utama dalam peningkatan populasi maupun produktivitas ternak. Menurut Widiati dkk, 2002, rendahnya perkembangan ternak disebabkan karena petani dihadapkan pada berbagai kendala yaitu sempitnya lahan untuk penyediaan pakan ternak (khusus di Pulau Jawa), modal rendah, dan kurangnya kemampuan petani dalam mengelola usahanya. Berdasarkan hal tersebut, perlua adanya perhatian serius dari pemerintah dalam mendukung produktifitas peternak melaui pembinaan, pemberian modal berupa bibit maupun alat sapronak dan pendampingan secara intensif khusus bagi peternak lokal. Selain itu dari pihak-pihak terkait yang diharapkan dapat memberikan modal pengetahuan serta pemahaman bagi masyarakat dalam melakukan teknik budidaya ternak, selain itu juga perlu melibatkan toko adat dalam pengembangan peternakan berbasis kearifan lokal, karena tokoh adat merupakan faktor penentu dalam pemanfaatan status lahan, yang didukung dengan pendekatan teknologi yang sudah dikuasai masyarakat. Selain itu juga, diperlukan pengetahuan dan ketrampilan budidaya beserta aspek kewirausahaan dan bisnis yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (Sodiq, 2014).
KESIMPULAN
1. Pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan dalam rangka pengembangan sub sektor peternakan dituntut berperan pengembangan peternakan di Kabupaten Manokwari Selatan.2. Berdasarkan status swasembada pangan sub-ektor peternakan, permintaan produk ternak yang tinggi masih merupakan tantangan besar. Hal tersebut ditunjukkan masih tingginya ketergantungan masuknya produk ternak dari daerah lain, yang sekaligus peluang dalam pengembangan kedepan.3. Daya dukung lahan masih cukup luas (lahan potensial tersedia) untuk pengembangan peternakan. Potensi lahan kawasan dataran rendah memiliki prospek paling besar dalam pengembangan ternak ruminansia.4. Aspek kelembagaan merupakan instrumen kunci yang harus dilibatkan dalam pengembangan peternakan berbasis kearifan lokal.5. Partisipasi masyarakat terhadap program peternakan masih rendah, belum sinergi antara pemerintah dan masyarakat serta masih kurangnya petugas lapangan dan pelatihan-pelatihan bagi peternak untuk mengembangkan usahanya.
DAFTAR PUSTAKA
BPS Kabupaten Manokwari Selatan
2016. Manokwari Selatan Dalam Angka. Manokwari.
Chambers,
R. 1993. Rapid Appraisal: Rapid, Relaxed and Participatory. IDS Discussion
Paper 311. IDS, Brighton.
Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan. 2001. Rencana Strategis dan Program Kerja Pembangunan Produksi
Peternakan Tahun 2001 – 2004. Departemen Pertanian, Jakarta.
Isbandi. 2004. Pengaruh Dinamika Kelompok Terhadap
Penerapan Zooteknik Oleh Kelompok Petani-Ternak Sapi Potong. Jurnal
Pengembangan Penyuluhan Pertanian Bidang Ilmu-ilmu Peternakan.
Kuntowijoyo.
2006. Budaya dan Masyarakat. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Rogers,
Everett M. 1977. Communication and Development: Critical Perspectivies, Sage
Publication Ltd., Baverly Hils.
Sodiq, A. 2014. Entrepreneurship
melalui Sains dan Pembelajaran Sains dalam Mengoptimalkan Sumber Daya Manusia:
Lessons Learnt Implementasi di Fakultas Peternakan Universitas Jenderal
Soedirman. Makalah Utama pada Seminar Nasional Sains dan Entrepreneurship,
Pendiikan Biologi IKIP PGRI Semarang, Juni 2014. Prosiding Semnas Entrepreneurship,
Hal.1-21.
Widiati,
R., K. A. Santosa, S. Widodo dan Masyhuri.
2002. Optimalisasi alokasi
sumberdaya rumahtangga tani melalui integrasi usahatani tanaman dan sapi potong
di Gunung Kidul Yogyakarta. Agro Ekonomi. Vol IX (2) : 65-79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar